Opini Ditulis Oleh Prof Dr Ir Saratri Wilonoyudho M.Si (Profesor Ilmu Kependudukan dan Lingkungan Perkotaan)
TRIBUNJATENG.COM - Menjelang arus mudik 2023, jalanan pantura Jawa Tengah perbatasan Jawa Timur, masih macet parah hingga awal Maret yang lalu.
Nampaknya sudah menjadi lagu lama, infrastruktur jalan tidak pernah beres, selalu saja tiap tahun ada proyek perbaikan jalan dan jembatan, hingga memacetkan kendaraan berpuluh-puluh kilometre jauhnya.
Jika ruas jalan yang satu sudah selesai, ganti lagi ruas yang lain, demikian seterusnya, berulang sepanjang tahun, hampir tidak pernah beres.
Sudah pasti, para pengendara harus rela antre berjam-jam, bahkan ada yang sampai antre semalaman, agar bisa berjalan lepas dari kemacetan hingga sampai ke tujuan. Berapa miliar rupiah harus dihitung untuk ongkos ini, mulai dari borosnya bahan bakar, kerusakan spare part, biaya makan dan menginap, rusaknya barang yang diantar, biaya psikologis dan sebagainya.
Tidakkah kita bisa membuat jalan dan jembatan yang kuat dan awet ? Jalan yang mulus tidak mudah berlobang ? Ada apa dengan masalah ini ? Apakah soal dana yang kurang untuk membuat jalan dan jembatan yang kuat dan tahan lama ? Soal SDM para insinyur sipil, atau sebab lain ? Sederhana saja, di negara-negara maju yang saya kunjungi, saya iseng bertanya kepada para sopir taksi, apakah ada jalan yang rusak setiap tahunnya ? Jawabnya mantab, tidak ada. Di negara-negara tersebut pajak rakyat dioptimalkan untuk membangun infrastruktur, dan karenanya rakyat sangat patuh membayar pajak karena mereka tahu bahwa pajaknya sangat berarti bagi kesejahteraan bersama.
Di negara-negara maju umumnya anggaran pembangunan dan pajak rakyat tidak menguap atau dikorup, sehingga infrastruktur dibangun dengan serius. Di ujungnya tentu akan membangkitkan ekonomi masyarakat. Bandingkan jika jalan macet berhari-hari, dipastikan para pengusaha dan berbagai kegiatan ekonomi akan berbiaya tinggi. Seorang teman pedagang buah di Jakarta mengaku lebih suka mengimpor buah dari Cina daripada harus beli dari Malang atau Surabaya, karena jika dihitung akan lebih murah dengan perhitungan macet di jalanan tersebut.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan jalan mudah rusak, yang pertama tentu mutu konstruksinya, dan yang kedua pembiaran truk-truk besar yang bertonase lebih dari 30 ton merayap di jalanan tanpa penghalang berarti dari jembatan timbang misalnya. Akibatnya jalan mudah hancur karena spek-nya tidak dperuntukkan tonase besar tersebut.
Sebuah Sistem
Dari sketsa singkat di atas Nampak bahwa urusan kenyamanan dan keselamatan transportasi adalah menyangkut bagaimana (mengubah) budaya suatu bangsa secara komprehensip. Ada adagium yang mengatakan “Jika ingin melihat budaya sebuah bangsa, lihatlah cara bangsa tersebut berlalulintas”. Ungkapan ini tentu ada alasannya, karena memang dunia transportasi adalah perwujudan dari budaya bangsa.
Dunia transportasi mestinya adalah dunia kedisiplinan, tenggang rasa, unjuk kerja (performance) keahlian berkendara, kecerdasan dalam memahami pihak lain, dan sebagainya. Tentu saja hal tersebut juga harus ditunjang oleh keandalan sarana jalan, rambu-rambu lalu lintas, serta penegakan hukum berlalu lintas yang baik.
Dengan kata lain, keselamatan dan pelayanan transportasi memerlukan manajemen budaya selain manajemen transportasi. Sarana jalan yang banyak berlubang, pasar tumpah, banyaknya pedagang kaki lima yang menyerobot trotoar dan badan jalan, atau penyempitan jalan, dst merupakan contoh bahwa sebaik apapun budaya berlalu lintas, namun jika diganggu “budaya lain” tersebut maka juga akan mengganggu keselamatan. Dengan kata lain secara umum sistem transportasi dipengaruhi oleh setidaknya empat faktor, yakni : sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem pergerakan lalu lintas, dan sistem kelembagaan (yang mencakup sistem budaya masyarakat dan pelayanan birokrasi).
Sudah lama Michael Replogle dari Institute for Transportation and Development Policy meramalkan akan terjadi krisis transportasi di negara-negara berkembang. Logikanya sederhana saja, pertambahan jumlah penduduk di negara-negara berkembang sangat cepat. Di ujungnya kebutuhan kendaraan juga bertambah banyak. Sialnya kesemuanya tidak diimbangi dengan mutu dan lebar jalan serta manajemen transportasi yang baik. Pertambahan jumlah kendaraan umum pada akhirnya akan menimbulkan persaingan yang ketat.
Negara-negara yang maju tingkat transportasinya adalah negara-negara yang memiliki “high trust society”.Di masa lalu pemenang Nobel Gunnar Myrdal pernah mengejek masyarakat Dunia Ketiga sebagai “soft state”, atau bangsa yang “lembek”, ya lembek disiplinnya, tanggungjawabnya, etos kerjanya, dsb. Dunia Ketiga seperti negeri ini, masih sebatas “obyek” penguasaan teknologi asing. Meski industri-industri muncul di sini, namun kendali tetap ada di Tokyo, New York, Berlin, London, dst.
Pusat Pertumbuhan ?