Opini Ditulis Oleh Sumarwanto (Pengajar Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME
Untag Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - Sang Proklamator, Soekarno, dalam pidatonya 1 Juni 1945 senantiasa mengedepankan dimensi ketuhanan sebagai bagian yang esensial dari kebangsaan dan kenegaraan yang hendak dibangun bersama.
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan satu-satunya sila yang tercipta di luar akal budi manusia, yang berisi nilai ketuhanan sebagai nilai-nilai mendasar (fundamental value).
Nilai Ketuhanan yang merupakan semangat, motor penggerak bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut adalah jiwa, ruh, dan dimaknai sebagai spiritulitas.
Adapun, spiritualitas itu sendiri adalah keterhubungan dengan hal yang rohani (kejiwaan, batin), yang membantu individu mencapai keseimbangan, kebahagiaan, dan kedamaian, serta koneksi dengan dimensi ketuhanan.
Harapannya, dengan kondisi seperti di atas bangsa ini mestinya mengalami kehidupan yang tenteram, damai, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Masyarakatnya berakhlak mulia, guyub rukun, saling mengasihi, dan menolong sesama.
Mengedepankan kesatuan dalam kehidupan yang beragam, toleran, tidak memaksakan kehendak, dan jauh dari tindakan anarkis dan radikal. Juga cinta akan kehidupan, musyawarah untuk menentukan kepentingan bersama dan berkeadilan sosial.
Kenyataan yang ada masih jauh dari harapan di atas. Pemuasan dan kemelekatan hasrat duniawi masih banyak mewarnai kehidupan di negeri tercinta ini. Hal itu terlihat dari fenomena pemenuhan hasrat akan pemilikan harta yang melimpah dengan menggunakan cara-cara yang tak terpuji, serta jamaknya perilaku brutal dan sadis.
Lebih ironisnya lagi adalah terbongkarnya drama yang melakonkan tindakan amoral oknum-oknum gagal moral, yang diperankan sosok yang mestinya dihormati dan diteladani, dengan perlakuan amoral terhadap anak-anak di bawah umur yang akan merusak masa depannya.
Hal ini mestinya hanya patut dilakukan oleh makhluk rendah yang tidak berakal, yang hanya mengandalkan naluri untuk memenuhi hasrat nafsu badani, seperti makan, tidur, dan mengumbar angkara murkanya, di mana tindakannya tidak ada bedanya dengan kehidupan binatang yang bersifat rendah.
Ada juga kelompok yang mengatasnamakan dirinya seolah wakil Tuhan, yang memiliki tiket masuk ke surga, yang cenderung memaksakan kehendaknya, dan membuat klaim bahwa hanya ajaran yang diyakininya adalah yang paling benar.
Perlu kesadaran
Hal demikianlah yang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa dengan pengaruhnya sangat terasa. Untuk itu, diperlukan bangkitnya kesadaran bangsa ini dengan meneguhkan jati diri dan moralitas keindonesiaan yang sumbernya adalah kearifan lokal dan budaya spiritual dari bumi Nusantara, yang mengajarkan nilai-nilai dan budi pekerti luhur.
Nilai-nilai dan atribut ketuhanan tidak bisa hanya sekedar dipahami, melainkan harus dihayati, dijiwai, dan diwujudkan dalam konteks kehidupan praksis. Nilai-nilai ketuhanan bersifat universal, dan tidak menggunakan ajaran dari satu agama dan kepercayaan tertentu saja.
Nilai-nilai ketuhanan ada pada tarikan benang merah dari semua ajaran ketuhanan yang sumbernya adalah dari Tuhan Yang Maha Esa, zat mutlak, pencipta alam aemesta, dan sumber dari seluruh keberadaan yang ada di alam semesta ini.
Dalam hal penghayatan nilai-nilai dan atribut ketuhanan, hal penting yang harus dilakukan adalah kesadaran diri, kesadaran tentang “siapa aku?” (sangkan paraning dumadi), agar bisa mengerti jati dirinya, tentang Tuhan, dan apa rancangan-Nya dalam kehidupan ini.
Dalam konteks ini, instrumen yang efektif untuk mencapainya adalah jiwa, hati sanubari (esoteris) yang terhubung dengan frekuensi ketuhanan, dan bukan menggunakan akal pikir semata yang bersifat terbatas, melainkan kecerdasan tak terbatas (spiritual), yang masuk ke dalam ranah intuitif.
Dengan mengakses frekuensi ketuhanan, menghayati dan meresapkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Suci, Maha Kuasa, Maha Penyayang, dan masih banyak lagi yang serba "Maha" ke dalam dirinya, maka seseorang secara berangsur-angsur akan mengalami kebersihan jiwa, dan sifat- sifat Tuhan yang semuanya baik tersebut berangsur-angsur akan terjelmakan dalam hati sanubarinya.
Proses inilah yang merupakan kunci utama menuju pada pencerahan (enlightenment). Pada tahap inilah seseorang telah bisa menangkap bimbingan dan petunjuk Tuhan yang akan menuntunnya kepada perilaku, tindakan, yang semuanya didasari dengan budi pekerti luhur.
Wajib diingat bahwa kemuliaan hidup akan didapat bukan karena ego mementingkan diri sendiri, melainkan sumbangsih apa yang bisa diberikan kepada sesama, bangsa, dan negara, serta alam semesta (memayu hayuning bawana), karena manusia adalah manifestasi realitas Tuhan di planet bumi, yang diharapkan bisa menjadi rahmat bagi alam semesta.
Semua agama, kepercayaan apapun, semuanya mengajarkan tuntunan hidup untuk membawa manusia pada kehidupan yang harmoni, damai, sejahtera, dan selamat di dunia dan di alam keabadian nanti.
Semoga jati diri yang kuat bangsa ini dapat terbangun kembali, sehingga mampu menjadi pusat peradaban dunia karena keluhuran budi pekertinya, dan kesejahteraan lahir batin negeri Indonesia tercinta ini dapat nyata terwujud. (*tribun jateng cetak)