Opini

Opini Nanang Qosim: Indonesia Butuh Pemimpin Ndeso

Editor: m nur huda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Opini Ditulis Oleh Nanang Qosim, M.Pd (Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang)

Opini Ditulis Oleh Nanang Qosim, SPdI, MPd (Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang)

TRIBUNJATENG.COM - BILA mendengar kata “ndeso” yang terbersit dalam pikiran kita adalah udik atau kampungan. Sebab kata “ndeso” berasal dari bahasa Jawa yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti desa. Desa sendiri secara sosiologis selalu dicirikan dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Namun dalam tulisan ini, penulis mencoba memberi makna berbeda terhadap kata “ndeso”. Tidak lain untuk mencari pemimpin yang punya komitmen dan kepedulian tinggi membangun desa.

Tidak dapat dipungkiri tingkat kemiskinan di desa lebih tinggi dibanding di kota. Walaupun di kota masih terdapat wilayah atau kantong-kantong kemiskinan, namun jumlahnya tidak signifikan dibanding desa. Data BPS September 2022 menyebutkan jumlah orang miskin di kota sebesar 7,53 persen. Sedangkan di desa 12,36 persen.

Hal ini disebabkan tingkat kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi begitu pesat. Sehingga masyarakat kota memiliki kesempatan memanfaatkan ruang-ruang aktifitas ekonomi yang tumbuh subur. Makanya ketika di kota kita dapat menjumpai masyarakat dengan berbagai profesi dan aktifitas produktif.

Berbeda halnya dengan kondisi desa. Secara umum desa di Indonesia terbagi dalam dua tipologi yaitu desa pesisir dan desa pedalaman. Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, sebagian besar masyarakatnya hanya mengandalkan profesi sebagai nelayan. Sementara di wilayah pedalaman, sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani, buruh tani dan peladang.

Tidak ada profesi alternatif selain nelayan atau petani – membuat masyarakat desa tidak mampu mengembangkan diri untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Mengingat penghasilan sebagai nelayan atau petani terkadang tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga.

Sekedar mengingatkan saja, walaupun negara kita terkenal kaya dengan hasil laut dan pertanian, namun kondisi ini tidak berbanding lurus dengan kemajuan yang dialami nelayan dan petani. Nelayan Indonesia tidak seperti nelayan Jepang yang sudah memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan kapal atau alat tangkap yang digunakan sudah sangat modern.

Petani Indonesia tidak seperti petani di negara-negara Eropa yang sudah mengalami kemajuan dalam hal usaha, teknologi dan pemasaran pertanian. Kehidupan desa yang tidak memberikan jaminan hidup untuk masa depan lebih baik, membuat masyarakat desa secara perlahan-lahan namun pasti mulai meninggalkan jejak-jejak kehidupan di kampung halaman demi bermigrasi ke kota. Tujuannya sederhana bisa mendapatkan pekerjaan dan kehidupan layak walaupun hanya sebatas menjadi buruh pabrik, pekerja kasar, pekerja bangunan dan sebagainya.

Profesi yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan profesi nelayan atau petani. Namun karena atas nama gengsi “kota” mereka rela ber”darah-darah” mencari nafkah di kota. Padahal apa yang diperoleh di kota tidak jauh berbeda dengan di desa. Justru kegiatan migrasi yang dilakukan memunculkan persoalan baru yaitu memindahkan kemiskinan dari desa ke kota. Banyak kawasan-kawasan kumuh di pusat kota didiami oleh masyarakat desa yang melakukan migrasi ke kota. Karena tidak dibekali skill, pengalaman dan kemampuan adaptasi akhirnya mereka tersingkir dari kontestasi yang keras dan ganas.

Bermigrasi

Desa-desa yang ditinggalkan penduduknya yang bermigrasi ke kota menyisakan persoalan baru. Banyak lahan pertanian menjadi teronggok. Perahu-perahu nelayan menjadi lapuk karena tidak lagi dimanfaatkan.

Bahkan yang lebih ekstrem lagi adalah masuknya developer perumahan yang melakukan reklamasi pantai dan menggusur lahan pertanian menjadi bangunan-bangunan kokoh nan angkuh. Imbasnya produktifitas hasil pertanian dan hasil laut mengalami penurunan.

Dengan menurunnya hasil produksi pertanian, menjadi alasan membuka kran impor bagi produk pertanian/perikanan yang sebenarnya masih bisa diproduksi di negara sendiri. Alhasil kita kebanjiran produk pertanian impor seperti durian, mangga, jeruk, beras, kedelai, ikan dan lain sebagainya.

Tragis karena kalau mengingat sejarah, salah satu alasan utama penjajah atau VOC datang menjajah Indonesia karena keinginan mereka menguasai sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Bagi penjajah atau VOC, Indonesia merupakan negara yang berlimpah sumber daya alamnya. Kini justru berbalik, Indonesia menjadi lahan subur bagi produk-produk pertanian impor.

Pemimpin “Ndeso”

Halaman
12

Berita Terkini