TRIBUNJATENG.COM - Selama tiga malam berturut-turut sejak 1 Juli lalu, Prancis dilanda kerusuhan.
Kejadian tersebut dipicu oleh penembakan polisi terhadap seorang remaja 17 tahun keturunan Afrika Utara.
Sejumlah warga juga melakukan unjuk rasa sebagai bentuk protes atas kematian remaja bernama Nahel M itu.
Baca juga: 16 Orang Tewas Akibat Kebocoran Gas Beracun di Afrika Selatan, Termasuk 3 Anak
Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengambinghitamkan video game dan media sosial sebagai faktor pendorong kerusuhan tersebut.
Macron menyebut video game berdampak pada kekerasan dan vandalisme.
"Kami terkadang merasa bahwa sebagian dari mereka seolah sedang berada dalam video game yang memabukkan mereka, di jalanan," ujar Macron, dikutip KompasTekno dari Gamerant, Kamis (6/7/2023).
Adapun media sosial khususnya Snapchat dan TikTok, disebut Macron menjadi alat mengkoordinasi kerusuhan dan memancing protes lain melalui aneka gambar yang dramatis.
"Kami melihat mereka, Snapchat, TikTok dan lainnya berperan sebagai tempat berkumpulnya kekerasan, tetapi ada juga bentuk peniruan kekerasan yang bagi sebagian anak muda membuat mereka luput dari kenyataan," lanjut dia.
Oleh karena itu, pemerintah Prancis bakal meminta Snapchat, TikTok dan perusahaan media sosial lainnya untuk menghapus konten sensitif.
Macron melalui regulator terkait juga bakal meminta Snapchat dkk. untuk mengungkap identitas pengguna yang mempromosikan kekerasan.
Lebih lanjut Macron berkata bahwa mayoritas pengunjuk rasa merupakan anak yang masih belia.
Untuk itu, Macron meminta orang tua agar menjauhkan anaknya dari jalanan atau tempat kerusuhan, selama insiden itu masih berlangsung.
"Adalah tanggung jawab orang tua untuk menjaga mereka di rumah, dan demi ketenangan semua pihak, tanggung jawab orang tua perlu dijalankan sepenuhnya," kata orang nomor satu di Perancis tersebut.
Tidak ada bukti saintifik
Klaim video game menjadi pemicu kekerasan di dunia maya bukan hal yang baru.