TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Widi Atmono (52) tampak sibuk di kandang sapinya. Kedua tangannya tengah menyerok kotoran sapi lalu mengarahkannya ke sudut kandang.
Dari sudut kandang itu terdapat saluran yang tersambung ke bak penampungan atau digester.
Tampungan digester itulah yang menjadi denyut nadi kebutuhan gas keluarga Widi.
"Saya punya empat ekor sapi, Alhamdulillah dari kotoran sapi tersebut kebutuhan gas sudah terpenuhi sehingga tidak perlu membeli elpiji. Apalagi kabarnya sekarang beli elpiji 3 kilogram di kota semakin sulit," ujar Widi kepada Tribun Jateng, Jumat (11/8/2023).
Kebutuhan elpiji bagi warga sudah menjadi kebutuhan primer. Terutama bagi warga Sruni, Musuk, Boyolali yang berada di kaki gunung Merapi.
Kawasan kampung mereka selalu berhawa dingin sehingga ketika mandi selalu menggunakan air panas.
"Tiap mandi pakai air panas. Di rumah ada lima orang, bayangkan kalau pakai elpiji dengan cara membelinya tentu lebih boros," ucapnya.
Ia mengaku, sebelum menggunakan biogas dalam sebulan bisa membeli gas elpiji sebanyak empat tabung.
Hitungannya setiap tabung seharga Rp20 ribu artinya keluarganya harus merogoh kocek hingga Rp80 ribu perbulan.
"Kalau setahun total Rp960 ribu. Nah adanya biogas kami bisa hemat segitu," paparnya.
Kebutuhan gas secara mandiri sudah dilakukan keluarga Widi sejak tahun 2014.
Ia mengandalkan sumber gas dari empat sapinya yang berada di belakang rumah.
Jumlah sapinya memang fluktuatif antara 4-10 ekor sapi. Semisal ada kebutuhan tertentu maka ia menjual sapinya dan sebaliknya ketika ada rezeki lebih maka akan membeli sapi kembali.
"Iya misal ada kebutuhan besar ya jual, tapi jumlahnya minimal di sini empat ekor," terangnya.
Setiap satu ekor sapi miliknya menghasilkan 25-30 kilogram kotoran setiap hari. Jika ada empat ekor berarti ada sekira 100 kilogram kotoran.