TRIBUNJATENG.COM, GROBOGAN - Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah mengkritisi Uang Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Rp 2,5 juta di SMPN 1 Purwodadi dan SMPN 3 Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Menurut Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah Siti Farida, penarikan sumbangan kepada orangtua siswa baru di jenjang pendidikan dasar (SDN/SMPN) berpotensi maladministrasi.
"Pembiayaan mestinya menjadi tanggung jawab negara melalui APBN dan APBD. Sehingga orang tua murid tidak dibebani lagi dengan permintaan sumbangan yang berpotensi memberatkan dan maladministrasi," kata Siti saat dihubungi melalui ponsel, Jumat (18/8/2023).
Baca juga: Pengakuan Komite Sekolah Soal Sumbangan Rp 2,5 Juta Buat SMPN Grobogan, Karena Tak Pernah Dapat CSR
Menurut Siti, sejatinya pembiayaan pendidikan dasar sudah selazimnya menjadi urusan wajib Pemerintah Kabupaten.
Sementara tugas orangtua siswa, kata Siti, adalah memenuhi kebutuhan personal siswa seperti di antaranya, seragam, buku tulis, dan sebagainya.
"Sedangkan biaya pendidikan di sekolah sebut saja sarpras, tenaga pendidikan, dan lain-lain mestinya ditanggung negara. Permendagri maupun Permendikbud sudah mengamanatkan tata kelola pembiayaan standar pelayanan minimal untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Jika mengacu pada program wajib belajar 9 tahun, maka pembiayaan SD dan SMP adalah tugas pemerintah," terang Siti.
Dijelaskan Siti, ketika SDN/SMPN terpaksa menarik uang sumbangan tentunya sesuai regulasi dilarang memberatkan orangtua siswa dan harus dipastikan benar-benar sukarela tanpa paksaan.
Meski demikian, Siti kembali menegaskan, uang sumbangan itu tidak dibenarkan ketika skema pembiayaannya sudah cukup terukur.
Artinya, saat pelaksanaan pembiayaan sekolah sudah tercukupi APBD, sudah sepatutnya pula menggugurkan sumbangan.
"Tidak ditentukan besaran maupun jangka waktunya, tidak boleh ditagih, tidak boleh berpengaruh apapun terhadap siswa yang tidak menyumbang. Perencanaan juga harus didasarkan musyawarah serta pengelolaannya pun akuntabel dan transparan. Tapi praktiknya kan tidak dan ini berpotensi malaadministrasi. Mestinya ketika ada peningkatan anggaran ya berhenti. Tapi sudah jadi kebiasaan seolah-olah tradisi," jelas Siti.
Ombudsman RI, sambung Siti, sudah berkali-kali menindaklanjuti pelaporan orangtua siswa yang keberatan dengan mekanisme penarikan sumbangan SDN/SMP.
Hasilnya pun jamak ditemukan perilaku penyelenggara pendidikan yang merugikan masyarakat.
"Banyaknya laporan ke kami dan saat diperiksa, sumbangan ternyata tidak untuk peningkatan mutu dan lainnya, justru banyak ke fisik. Ini bukan berbasis kebutuhan terkait pengelolaan pendidikan. Ini sudah jadi tradisi. Sehingga kalau boleh kami katakan itu tidak boleh adanya sumbangan karena sudah ada APBD/APBN," kata Siti.
Siti pun kurang selaras dengan pernyataan Komite SMPN 1 Purwodadi dan SMPN 3 Purwodadi yang merujuk Permendikbud nomor 75 tahun 2016 soal peningkatan mutu pelayanan pendidikan dan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan.
"Itu aturan lama dan ada aturan-aturan baru lainnya. Betul dasarnya boleh, ketika merugikan, orangtua keberatan gak boleh. Maladministrasi. Pengertian boleh, bukan berarti alasan pembenar untuk sumbangan. Sesuai kajian, peraturan yang membolehkan itu ketika belum muncul kewajiban Pemkab untuk memenuhi layanan dasar di bidang pendidikan," jelas Siti.
Baca juga: Pusingnya Wali Murid di Grobogan, Anaknya di SMP Negeri Favorit Dimintai Sumbangan Rp 2,5 Juta