"Kami khawatir Pj Gubernur Jateng tetap menggunakan PP Nomor 51 tahun 2023 dalam penetapan UMK," jelasnya.
Ramidi menuturkan, harusnya rekomendasi bupati walikota dan dewan pengupahan jadi hal wajib yang diperhitungkan.
Kondisi tersebut juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta.
Namun di Jateng, yang harusnya melalui proses tiba-tiba ditentukan penetapan upah minimum.
"Jadi peran dewan pengupahan di Jateng yang juga berisi buruh tidak digubris," jelasnya.
Para buruh meminta kenaikan UMK 15 persen karena beberapa waktu lalu upah tidak dinaikkan.
Bahkan tahun lalu upah diturunkan 25 persen karena alasan krisis global.
"Padahal upah ASN naik 8 persen, harusnya buruh tak boleh di bawah 8 persen," terang Ramidi.
Untuk itu buruh mewanti-wanti agar Pj Gubernur Jateng tak menggunakan PP Nomor 51 sebagai dasar penetapan UMK.
Pasalnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jateng cukup tinggi.
Jika PP Nomor 51 tetap digunakan, buruh di Jateng akan kembali menggelar aksi.
"Banten, Jabar dan sekitarnya sudah melakukan mogok nasional. Namun jika UMK tetap rendah buruh tidak akan diam dan akan menggelar aksi serupa," imbuhnya.