Belum stabil
Bayu sempat menuturkan, harga beras yang relatif masih tinggi dipengaruhi oleh produksi yang masih belum stabil di tahun ini.
"Bantuan pangan dan SPHP belum berhasil menurunkan harga. Dia (bantuan beras-Red) berhasil menurunkan inflasi, tapi harga berasnya masih relatif tinggi. Jadi artinya harga beras itu stabil tapi relatif tinggi," terangnya.
"Mengapa belum berhasil menurunkan harga, karena memang kondisi produksi situasinya masih berat, bahkan sampai dengan saat ini," sambungnya.
Ia pun memaparkan data yang diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 produksi beras dalam negeri mengalami penurunan.
"Pada 2021 ke 2022 surplus produksi itu masih 1,8 ton-1,9 juta ton kalau enggak salah. Tahun 2022 ke 2023 surplus, tapi sudah turun 700 ribu ton. Ini menunjukan produksi turun," jelasnya.
Meski demikian, Bayu menyadari Bulog belum bisa menekan harga beras. Sebagai antisipasinya, Bulog menyalurkan beras SPHP di tingkat komersial dengan harga yang lebih murah.
"Kalau SPHP kami jual di tingkat komersial tapi dengan harga lebih murah. Ini lagi-lagi berusaha untuk narik ke bawah. Kalau bahasa Bulog dulu strategi ngandulin harga. Jadi harganya kami gandulin ke bawah dengan beras SPHP," ucapnya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menanggapi ihwal bantuan pangan dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang disebut tak mampu menurunkan harga beras.
Sekretaris Jenderal Kemendag, Suhanto menegaskan bahwa kedua program dianggap sudah berhasil. Sebab, sejak program tersebut diluncurkan tak ada lagi gejolak harga beras di pasar.
"Yang penting sudah tidak ada gejolak sekarang," katanya, ditemui di Kantor Kemendag, Jumat (12/1).
Meski demikian, Suhanto mengakui bahwa harga beras saat ini memang masih tinggi. Tapi pihaknya memastikan ke depan sudah tidak ada kenaikan lagi. (Kontan/Lailatul Anisah/Tribunnews/Nitis Hawaroh/Lailatul Anisah)
Â