Berita Nasional

Prabowo Diminta Rebut Kembali 40 Manuskrip Keraton Yogyakarta yang Dirampas Inggris

Editor: m nur huda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prasasti peristiwa Geger Sepehi di Yogyakarta - Prabowo Subianto diminta merebut kembali aset milik Sultan Hamengkubuwono II dari Keraton Yogyakarta berupa puluhan manuskrip yang dirampas Inggris dalam Peristiwa Geger Sepehi.

Manuskrip tersebut, sambung Lilik, bisa menjadi sarana untuk pembelajaran tentang masa lalu.

Sejarah Geger Sepehi

Dilansir dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau melalui https://www.kratonjogja.id/, dijelaskan mengenai sejarah adanya peristiwa geger sepehi.

Pada tanggal 17 Juni 1811 malam, pasukan Inggris memasuki Yogyakarta. Namun pasukan Yogyakarta berhasil melukai dan menghalau bala tentara Inggris.

Keesokan harinya Inggris mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II, namun utusan tersebut ditolak. Sekembalinya utusan tersebut ke pasukan Inggris, api peperangan pun mulai berkobar. Tembakan meriam terdengar dari arah Keraton Yogyakarta, menandakan sikap tidak mau kompromi dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Situasi keraton kala itu digambarkan oleh Mayor William Thorn, seorang prajurit yang tergabung dalam pasukan Inggris, sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Di sekeliling kraton terdapat parit-parit lebar dan dalam, dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu akses masuknya.

Terdapat pula beberapa bastions tebal yang dilengkapi dengan meriam. Tembok-tembok tebal yang mengelilingi halaman-halaman istana dilengkapi dengan prajurit bersenjata. Pintu utama menuju kraton juga dilengkapi dengan dua baris meriam. William Thorn mencatat setidaknya ada 17.000 prajurit dan ratusan warga bersenjata tersebar di kampung-kampung, mempertahankan wilayah Yogyakarta.

Serangan-serangan kecil terus berlangsung hingga tanggal 19 Juni 1812 pukul 9 malam. Setelah itu, kondisi Yogyakarta kembali senyap. Tidak ada lagi ledakan-ledakan meriam dan suara tembakan.

Dini hari tanggal 20 Juni 1812, meriam-meriam Inggris kembali menyalak. Serangan meriam ini mengarah ke Alun-alun Utara, tepat ke arah pintu masuk keraton. Serangan besar-besaran kemudian menyusul pada pukul 5 pagi. Pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan pasukan Sepoy (India), dibantu pasukan dari Legiun Mangkunegaran, menyerang Keraton Yogyakarta.

Kekuatan utama serangan pasukan Inggris diarahkan ke sisi timur laut benteng. Dalam Babad Sepehi disebutkan bahwa bagian ini tidaklah terjaga kuat. Serangan tidak berjalan terlalu lama, hanya beberapa jam saja sudut benteng ini runtuh dengan diawali meledaknya meriam dan gudang mesiu. Sekitar jam 8 pagi, benteng benar-benar jatuh ke tangan pasukan Inggris.

Segera setelah beteng ini direbut, pasukan Sepoy mengarahkan seluruh meriam ke arah Keraton Yogyakarta. Serangan ini kemudian disusul dengan masuknya pasukan dari arah Gerbang/Plengkung Nirbaya yang berhasil dikuasai. Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian menyerah ketika pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti.

Setelah peristiwa ini, Keraton Yogyakarta mengalami kerugian besar. Tidak hanya kekayaan materi yang dijarah, namun juga kekayaan intelektual. Ribuan naskah dari perpustakaan keraton dijarah. Raffles kemudian memanfaatkan pengetahuan dan wawasan Pangeran Natakusuma di bidang sastra untuk memilah dan menginventarisasi naskah naskah tersebut sebelum dibawa ke Inggris.

Pada masa ini pula, Pangeran Natakusuma diberikan status sebagai pangeran merdeka dan memiliki wilayah sendiri. Pangeran Natakusuma diberikan tanah seluas 4000 cacah yang diambil dari wilayah Yogyakarta, dan kemudian memperoleh gelar Pangeran Pakualam I. Wilayahnya setingkat kadipaten dan dinamakan Pakualaman. Sri Sultan Hamengku Buwono II sendiri kemudian diasingkan ke Penang.

Pada 1 Agustus 1812, pemerintah Inggris memaksa Keraton Yogyakarta dan Surakarta untuk menandatangani perjanjian yang sangat merugikan bagi bangsawan-bangsawan Jawa. Perjanjian tersebut memangkas kekuatan militer kerajaan sampai sebatas yang diizinkan Inggris. Beberapa wilayah mancanegara dan negaragung, seperti Japan (Mojokerto), Jipang, dan Grobogan, diambil paksa sehingga membuat para pejabat yang memerintah di sana kehilangan jabatan dan penghasilan.

Pengelolaan gerbang-gerbang cukai jalan dan pasar juga diserahkan kepada Inggris, ini tidak hanya menghilangkan pendapatan dari pungutan tapi juga membuat perdagangan dikuasai oleh pihak asing.

Halaman
123

Berita Terkini