Oleh: Dian Marta Wijayanti, M.Pd., Kepala SDN Gajahmungkur 03 Kota Semarang & Fasilitator Tanoto Foundation
BENCANA adalah kenyataan yang tak bisa dielakkan; tiba-tiba datang, pergi tanpa perpisahan. Kita tidak pernah tahu kapan dan di mana itu akan terjadi. Suatu saat, alam bisa terlihat damai, namun dalam hitungan menit, air banjir bisa menggenangi tempat yang sebelumnya kering. Tak seorang pun berharap untuk menerima kiriman bencana, tetapi ketika datang, kita hanya bisa merelakan diri dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi.
Menurut data yang dirilis oleh media Tribun Jateng, pada Kamis, 14 Maret 2024, ada 31 titik di Kota Semarang yang terendam banjir. Wilayah-wilayah seperti Kaligawe dan Terboyo, yang sering menjadi langganan banjir, tidak terlewatkan dalam banjir Maret 2024 di Kota Semarang. Bahkan, tempat-tempat yang jarang terdampak banjir kini ikut tergenang air, termasuk ruang IGD di RS Kariadi.
Arus lalu lintas terganggu di banyak titik. Tingginya curah hujan dan debit air di Kota Semarang sejak 12 Maret 2024 menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan pelaku pendidikan. Banyaknya tempat umum, termasuk sekolah, yang terdampak banjir menjadi masalah serius. Sekolah-sekolah di pesisir pantai dan tepi sungai menjadi saksi banjir di awal bulan Ramadhan 1445 Hijriah.
Sejumlah sekolah mengalami kerusakan, mulai dari terendam air hingga atap yang ambruk, bahkan akses ke sekolah terhambat oleh genangan air. Tidak hanya siswa yang kesulitan mengakses sekolah, tetapi beberapa guru juga menjadi korban.
Kerusakan fisik jelas terlihat pada bangunan, halaman, pagar, dan fasilitas umum di sekolah. Dan tidak kalah pentingnya adalah perlunya segera mengamankan dan menjaga dokumen-dokumen penting, termasuk dokumen kepegawaian dan data siswa.
Dampak lain yang tak terhindarkan adalah hilangnya motivasi siswa untuk bersekolah. Banyak di antara mereka yang rumahnya terdampak banjir, sehingga harus menghabiskan waktu ekstra untuk membantu orang tua membersihkan rumah. Beberapa di antara mereka juga kehilangan peralatan dan buku sekolah mereka.
Peran Penting Kurikulum Mitigasi Bencana
Kurikulum disusun untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam kurikulum, terdapat komponen-komponen penting yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan. Salah satu unsur penting adalah memberikan pengalaman belajar kepada siswa di semua tingkatan. Namun, tidak hanya belajar, siswa juga perlu memahami bagaimana menerapkan pengalaman tersebut dalam menyelesaikan masalah sehari-hari (problem solving).
Kurikulum memiliki tiga peran utama: peran konservatif, peran kreatif, serta peran kritis dan evaluatif. Ketiga peran ini harus seimbang. Kehadiran kurikulum mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk diimplementasikan. Sejak dini, anak-anak perlu memahami ragam bencana yang mungkin terjadi di daerah mereka. Literasi mitigasi bencana perlu ditanamkan melalui langkah-langkah khusus agar menjadi bagian dari upaya preventif dalam bidang pendidikan.
Indonesia saat ini telah memiliki teknologi pemantauan bencana secara daring. Pemerintah dapat dengan cepat mendata bencana dan peta potensi bencana dapat diakses melalui berbagai situs web. Dari peta potensi bencana ini, lembaga pendidikan dapat berperan dalam kegiatan edukasi untuk mendukung upaya mitigasi bencana pemerintah.
Implementasi Kurikulum Mitigasi Bencana
Kurikulum mitigasi bencana dapat diintegrasikan dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pertama, kegiatan intrakurikuler dapat disusun dalam konsep MIKiR oleh Tanoto Foundation. MIKiR merupakan bentuk pembelajaran aktif yang dikenalkan oleh Tanoto Foundation ke berbagai sekolah mitra. MIKiR merupakan akronim dari mengalami, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Guru dapat mengintegrasikan pembelajaran mitigasi bencana dengan materi yang ada di sekolah.
Misalnya, dalam pembelajaran "hak dan kewajiban", guru dapat mendorong siswa untuk menganalisis hak dan kewajiban dalam menjaga lingkungan. Siswa diajak untuk mempelajari berbagai energi alternatif melalui tayangan video dan kemudian mencoba membuatnya dengan bahan-bahan di sekitar mereka.
Pembelajaran dengan konsep MIKIR dapat disajikan melalui kegiatan role playing (bermain peran). Anak-anak di daerah pesisir dapat memperagakan aktivitas yang terjadi saat bencana datang, menjadi korban, tim SAR, relawan, atau bahkan tim medis. Mereka belajar memainkan peran sesuai dengan tokoh yang mereka mainkan. Guru mengemas pembelajaran dalam kegiatan yang menyenangkan, sehingga edukasi mitigasi bencana dapat dimulai sejak dini.
Kedua, di dalam kegiatan kokurikuler, sekolah dapat membentuk kebiasaan yang berfungsi sebagai upaya preventif untuk menjaga kelestarian alam. Ini bisa mencakup kegiatan seperti membersihkan lingkungan sekolah, mendaur ulang sampah bekas, memanfaatkan lahan yang terbengkalai, dan melakukan kegiatan bercocok tanam. Peran agensi siswa diperhatikan dengan memberikan mereka suara, pilihan, dan tanggung jawab penuh atas program-program tersebut. Guru dapat membimbing peserta didik dalam merumuskan beberapa ide program, yang kemudian diintegrasikan dalam kegiatan kokurikuler yang menjadi milik bersama. Kegiatan yang dirancang oleh peserta didik akan memiliki makna yang lebih dalam jika mereka terlibat langsung dalam proses pembuatannya.
Ketiga, sekolah dapat menyelipkan edukasi mitigasi bencana dalam kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya, dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka, peserta didik dapat terlibat dalam aktivitas yang menumbuhkan kesadaran akan kecintaan pada alam, sebagaimana tercermin dalam Dasa Dharma.
Selain itu, dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti jurnalistik atau karya ilmiah remaja, siswa dapat mengumpulkan data di lapangan tentang lokasi bencana dan tindakan preventif yang telah dilakukan.
Pengembangan kurikulum haruslah adaptif terhadap lingkungan. Dalam kurikulum mitigasi bencana, sekolah harus memperhatikan kondisi geografis dan potensi bencana yang mungkin dihadapi siswa sebagai bagian dari masyarakat. Meskipun kita tidak dapat menghindari bencana sepenuhnya, sebagai generasi terdidik, kita memiliki kekuatan untuk mengurangi risikonya dengan langkah-langkah preventif. Alam membutuhkan lebih dari kata-kata Mutiara. Alam membutuhkan aksi nyata dari kita dalam mencintainya. (*)