TRIBUNJATENG.COM, KUDUS – Eka Hapsari tidak bisa memungkiri kalau usaha penjualan kudapan berupa slondok telah memberinya keuntungan besar. Bahkan dari usaha yang dijalankan bersama yang suami Supardi dia mampu membangun rumah dan membeli mobil.
Eka Hapsari perempuan berusia 39 tahun telah mengawali usaha jualan camilan slondok sejak 2013.
Camilan berbahan baku singkong dengan tekstur renyah dan rasa yang gurih itu mula-mula dipasarkan oleh Eka secara manual dan secara daring. Dia memanfaatkan media sosial sebagai ajang jualan.
Aktivitas jualannya itu dilakukan oleh Eka di sela-sela pekerjaannya sebagai karyawan di salah satu lembaga keuangan di Kabupaten Kudus. Semula memang dia slondok dagangannya merupakan pasokan dari daerah asal slondok yaitu di Kabupaten Magelang.
Eka membeli slondok dari Magelang dalam jumlah banyak kemudian dikemas dalam plastik kapasitas 4 kilogram dan kembali dijual.
Ibu tiga anak ini terbilang konsisten dalam menjalankan usaha jualan slondok. Sejak 2013 sampai 7 tahun berikutnya usaha jualan slondok terus dijalankan tanpa henti. Alhasil permintaan slondok semakin meningkat. Eka tidak bisa memenuhi permintaan karena stok yang diterimanya dari Magelang juga terbatas.
“Saat itu pembeli sudah banyak, tidak hanya Kudus saja. Tapi juga dari luar daerah bahkan sampai Tangerang,” kata Eka saat ditemui di kediamannya sekaligus tempat pemasaran di RT 1 RW 1 Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Selasa (16/4/2024).
Berbekal dari meningkatnya permintaan dan dia tidak bisa melunasi akhirnya Eka berpikiran untuk mencoba memproduksi slondok secara mandiri. Tidak lagi mengandalkan slondok pasokan dari Magelang.
Pada 2020 akhirnya Eka resmi memproduksi slondok sendiri di rumah produksi di RT 4 RW 4 Desa Kesambi. Dia memanfaatkan bahan baku berupa singkong dari Kudus dan sekitarnya. Beberapa produknya yaitu slondok puyur bulat, panjang, dan slondok berbentuk bundar.
Untuk modal dia memilih akses pinjaman skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 25 juta. Pinjaman modal tersebut digunakan untuk membeli mesin pencambur bumbu slondok.
Rupanya setelah memproduksi slondok secara mandiri kini usahanya kian meroket. Per bulan minimal mampu menjual 100 kemasan. Masing-masing kemasan berisi 4 kilogram dengan harga rata-rata Rp 90 ribu per kemasan.
Saat menjelang Idulfitri menjadi titik paling menggembirakan. Berapa pun kuantitas produksinya, pasti habis terjual. Kudapan ini biasanya juga jadi sajian untuk tamu saat lebaran.
“Istilahnya kalau jelang lebaran itu tinggal seberapa kuat fisik kita dalam melakukan produksi,” kata Eka.
Tidak hanya itu, setelah melakukan produksi sendiri pangsa pasarnya juga kian bertambah dengan melakukan penjualan via media sosial atau melalui marketplace.
Dari yang semula hanya Kudus dan sekitarnya dan beberapa pelanggan dari luar daerah misalnya Tangerang, kini pelanggannya sampai ke Pulau Sumatera dan Kalimantan. Misalnya secara rutin Eka harus mengirim slondok produksinya sampai ke Jambi dan Lampung.