May Day 2024

Kisah Pilu Buruh Perempuan Semarang, Rawan Alami Kekerasan Hingga Dapat Upah Tak Layak

Penulis: iwan Arifianto
Editor: Muhammad Olies
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para buruh perempuan melakukan aksi tuntutan kepada negara saat Hari Buruh Internasional, di Kota Semarang, Rabu (1/5/2024).

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Perlindungan bagi buruh perempuan dinilai mendesak.

Sebab,  buruh perempuan menjadi kelompok rentan yang mendapatkan kekerasan maupun upah tak layak.

"Kami menuntut negara supaya melindungi buruh perempuan , terutama para buruh Pekerja Rumah Tangga (PRT)," ujar Ketua Direktur LBH APIK Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, Rabu (1/5/2024).

Pihaknya memang fokus dalam mengadvokasi para buruh PRT lantaran kasus kekerasan PRT di Semarang cukup tinggi. 

Dalam laporan Catatan Tahunan (Catahu) LBH APIK Semarang tahun 2023, tercatat ada sebanyak 15 kasus kekerasan yang menimpa PRT. 

Baca juga: Gelar Demonstrasi, Buruh Perempuan Semarang Merasa Masih Rentan Kekerasan

Sebelumnya, rentang waktu tahun 2017-2022, LBH APIK Semarang juga menerima aduan serupa sebanyak 30 kasus.

Belum lagi catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat sebanyak 3.308 kasus dari 2021 sampai Februari 2024. 

"LBH APIK Semarang menuntut negara segera sahkan Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga karena masih banyak PRT mengalami kekerasan saat bekerja namun tidak ada payung perlindungan hukum," kata Ayu.

Disamping itu, buruh perempuan di sektor industri juga tak kalah miris. 

Koordinator Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jawa Tengah, Karmanto mengatakan,  para buruh perempuan masih mendapatkan  diskriminatif lewat pemberian cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Hal itu  tidak mendapat perhatian yang serius oleh pengusaha dan pemerintah, sehingga keselamatan para pekerja perempuan dalam keadaan darurat dan harus terus dilawan dengan persatuan kaum buruh, rakyat, dan kaum tertindas lainnya. 

"Kami menuntut untuk di berlakukannya cuti hamil dan menyusui selama 1 tahun bagi buruh perempuan," jelasnya. 

UU Cipta Kerja 

Menurut Karmanto, Pemerintah dan DPR RI sampai hari ini belum berpihak kepada Buruh setelah lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 6 tahun 2023 Cipta Kerja. 

Aturan itu membuat dampak yang luar biasa bagi kehidupan buruh yang semakin nelangsa. 

Baca juga: Yasanti Beberkan Nasib Apes Masih Dialami Buruh Perempuan - Alami Keguguran Hingga Tak Diberi Cuti

Aturan itu juga semakin menindas dan tidak memberikan jaminan dan Kesejahteraan dalam bekerja.

Bahkan, Pemerintah dan DPR RI bekerja sama dengan pengusaha, menjalankan sistem kerja kontrak dan outsourcing sampai saat ini masih berjalan dan telah merampas kepastian kerja dan mimpi kesejahteraan kaum buruh. 

"Hampir seluruh kaum buruh di Indonesia merasakan kebijakan ini, baik secara sadar maupun tidak sadar, sistem kerja kontrak dan outsourcing ini menguntungkan pihak pengusaha karena mereka tidak harus mengeluarkan beban biaya jika buruh ter-PHK dari tempat kerjanya," paparnya. 

Melihat kondisi itu, lanjut dia, pihaknya menuntut negara untuk mencabut Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dan seluruh peraturan turunannya. 
Hapus sistem kerja kontrak, outsourcing dan sistem magang.

Adapun tuntutan lainnya hentikan upah murah  lalu berlakukan upah layak nasional. 

"Berikan kebebasan beserikat, stop diskriminasi, intimidasi dan arogansi di tempat kerja serta hentikan kriminalisasi terhadap aktivis buruh," tandas dia. (Iwn)

 

Berita Terkini