Berita Jateng

Jomplang! Upah Minim Buruh Tani di Jateng Tak Sebanding Dengan Besarnya Serapan Tenaga

Penulis: budi susanto
Editor: Catur waskito Edy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang petani tengah mengecek tanaman padi di areal persawahan yang ada di wilayah Kabupaten Batang, beberapa waktu lalu. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sektor pertanian menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja paling tinggi di Jateng.

Dari total jumlah penduduk yang bekerja di Jateng yang mencapai 20,4 juta, 28,3 persen terserap di sektor pertanian.

Jika dihitung, ada 5,6 juta pekerja di sektor pertanian yang ada di Jateng.

Hal tersebut juga didata oleh Disnakertrans Provinsi Jateng pada Februari 2024.

Bahkan dikatakan Ahmad Aziz, Kepala Disnakertrans Provinsi Jateng, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalahkan sektor industri pengolahan.

Di mana penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan mencapai 18,8 persen atau sekitar 3,6 juta pekerja.

Sementara sektor perdagangan menempati posisi ke tiga dalam hal penyerapan tenaga kerja yang mencapai 17,9 persen.

"Penyerapan tenaga kerja di Jateng memang ada di sektor pertanian," jelasnya, Jumat (21/6/2024).

Selain tiga sektor tersebut, penyerapan tenaga kerja pada sektor akomodasi dan makan minum mencapai 7,9 persenĀ 

Kemudian di posisi ke lima ada sektor konstruksi dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 7,6 persen.

Jika melihat data tersebut, sektor pertanian di Jateng cukup potensial.

Meski demikian, besarnya serapan tenaga kerjan di sektor pertanian di Jateng tek didukung dengan besarnya upah yang diterima.

Dalam arti, semakin besar serapan tenaga kerja semakin kecil upah yang diterima oleh pekerja.

Tak jarang upah buruh tani di Jateng hanya Rp 30 sampai Rp 50 ribu perhari.

Kondisi tersebut dirasa berat oleh sebagian buruh tani di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok.

"Ya mau bagaimana lagi, kami tidak punya lahan hanya bisa bekerja harian," ucap Tasurun (51) buruh tani asal Kabupaten Kendal.

Ia juga mengatakan tidak ada standarisasi upah dari pemerintah seperti buruh pabrik.

Kondisi tersebut tak jarang membuat pemberi kerja seenaknya mematok upah untuk buruh tani.

"Mau mengeluh juga tidak bisa, yang jelas upah yang kami terima hanya cukup untuk makan," terangnya.

Tasurun merupakan satu dari jutaan buruh tani yang ada di Jateng.

Ia hanya bisa bekerja lantaran tak memiliki lahan pertanian.

Catatan Disnakertrans Provinsi Jateng, buruh memiliki porsi terbesar dalam hal status pekerjaan utama.

Di persentase buruh atau pekerja yang tak memiliki lahan hingga usaha mencapai 36,2 persen.

Jika dihitung, ada 7,2 juta buruh di Jateng dari total 20,4 juta penduduk yang bekerja.

Baca juga: Kebakaran Lahan di Blora, Nyaris Merembet ke Rumah Warga

Baca juga: PGRI Nilai Perhatian Pemkot Semarang Kepada Guru Non-ASN Baik, Prioritaskan Diangkat PPPK

Baca juga: Cara Dinkes Blora Tekan Angka Penularan HIV/AIDS, Pelajar Diminta Menjaga Diri dan Meningkatkan Iman

Baca juga: Pemkab Karanganyar Gandeng Yohanes Surya Terapkan Metode Gasing Dalam Pembelajaran Matematika

Berita Terkini