Wawancara Khusus

Wawancara Masinton Pasaribu Soal Pilkada Serentak 2024 : Khawatir Konfigurasi Pilkada Mirip Pilpres

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu, beberapa waktu lalu.

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA – Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengaku khawatir konfigurasi Pilkada Serentak akan seperti Pilpres 2024 yang akan ditentukan oleh figur-figur tertentu.

Menurutnya, hal itu akan disayangkan mengigat Pilkada Serentak akan menentukan pemimpin daerah di 38 provinsi sama 540 lebih kabupaten/kota.

“Kita kan ingin pelaksanaan Pilkada ini sebagai momen demokrasi momentum rakyat memiliki kedaulatannya untuk memilih siapa pemilih di daerahnya baik Gubernur, Bupati, dan Wali Kota,” kata Masinton dalam podcast di Kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Kamis (4/7).

Berikut wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Masinton Pasaribu:

Sekarang ini mulai hangat Pilkada Serentak dan banyak pihak menyebut bahwa konfigurasi Pilkada nanti mirip-mirip sama Pilpres yaitu bahwa Pak Jokowi, Pak Prabowo yang konon akan sangat menentukan figur-figur yang akan menang Pilkada. Abang sebagai Kader PDI Perjuangan yang mengikuti perjalanan politik negeri ini tentu punya pendapat?

Pertama ini kan Pilkada dilakukan serentak dalam sejarah Republik, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara serempak seluruh Indonesia, 38 provinsi sama 540 lebih kabupaten/kota gitu.

Nah tentu, kita kan ingin pelaksanaan Pilkada ini sebagai momen demokrasi momentum rakyat memiliki kedaulatannya untuk memilih siapa pemilih di daerahnya baik Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Sebagai pemilih sebagai sarana kedaulatan rakyat maka ini tuh biarkan para kontestan, biarkan para kontestan, biarkan rakyat yang memilih. Jadi, jangan seperti pilpres pemilu kemarin.

Ini sarana demokrasi di masyarakat tadi itu. Jadi, artinya apa? Kita mau, ya ini kualitas pemilu, kualitas demokrasi harus kita tingkatkan lah. Kita jangan mengulangi yang dikritik pada masa pilpres lalu gitu ya.

Sehingga ada koreksi dan evaluasi gitu ya agar pelaksanaan pilkada di daerah-daerah itu menjadi momentum untuk mengingkatkan partisipasi dan kualitas demokrasi kita serta pemilu kita. Nah, kemudian tentu ini akan menjadi menarik ya.

Karena semua nanti energi bangsanya di seluruh daerah, dia akan merayakan, apa, menghadapi momentum pemilu pilkada tadi untuk memilih siapa yang akan menjadi kepala daerahnya. Nah, tentu apakah, orang kan sering mengkaitkan gitu ya, apakah ini akan sama nanti referensi di pusat, pilpresnya sama dengan di daerah. Saya rasa itu berbeda.

Berbedanya apa? Tiap daerah itu memiliki karakteristik masing-masing. Kemudian di daerah itu, dia figur yang dekat dengan masyarakat itu akan berpengaruh lebih besar. Pas dia mau didukung partai mana, dia tidak langsung otomatis linier dengan hasil pilpres, hasil pileg gitu ya.

Nah, artinya apa? Bahwa tiap daerah itu memiliki karakteristiknya masing-masing dan masyarakat punya referensi pilihannya masing-masing terhadap tokoh-tokoh di daerah-daerah tersebut yang mencalon.

Kemarin di pilpres kemarin itu ada 3 fenomenal, Pak Masinton, yang menurut saya luar biasa. Satu, bahwa calon yang didukung oleh Pak Jokowi menang. Yang kedua, suara PDIP anjlok dibandingkan yang lalu. Dengan skema persis seperti zamannya Pilpres. Ada operasi Bansos. Lalu, ada kelompok organ pemerintah dipakai. Apakah ini tidak menjadi kekhawatiran juga dengan melihat situasi yang pernah terjadi di Pilpres, Bang?

Iya artinya kalau itu di jalanin lagi di tiap daerah, artinya kan kita tidak melakukan koreksi dan evaluasi. Terhadap kritik banyak elemen masyarakat terhadap penyelenggaraan Pilpres kita yang lalu.

Pelibatan aparatur negara, penggunaan anggaran yang sangat besar di topang APBN gitu ya. Untuk program-program seperti Bansos apa segala macem yang motifnya politik. Kemudian hukum digunakan untuk alat politik.

Lakukan tekanan. Iya, tekanan, ajakan, maupun sifatnya menciptakan intimidasi. Nah, artinya kalau itu terjadi di daerah, dalam Pilkada nanti, itu akan semakin memerosotkan kualitas demokrasi dan pemilu kita.

Dan ini akan menjadi bom waktu nantinya. Artinya apa kita nggak boleh, biar itu pemilu, sebagai sarana masyarakat sipil, tidak perlu ada campur tangan negara di sana untuk melakukan proses intervensi pilihan-pilihan masyarakat.

Tadi ya diarahkan ke A, B, melalui perangkat-perangkat negara gitu ya. Baik itu lembaganya maupun aparaturnya. Serta anggaran, di anggaran-anggaran program-program pemerintah yang dibiayai pake duit rakyat.

Kemudian diarahkan untuk memenangkan kontestan gitu ya. Nah, itu menurut saya akan semakin menampakkan kualitas demokrasi kita semakin merosot.

Kemidian saya berangkat dari pengalaman politik ini dulu ya. Apa? Peristiwa, apa ya? Pengalaman politik sebelumnya lah. Pilkada-pilkada sebelumnya. Dia tidak linear saya katakan itu tadi.

Umpamanya yang didukung oleh pemerintah di pusat dengan kandidat di daerah, gak otomatis menang tuh. Gak otomatis menang. Ambil contoh, Contohnya Jakarta lah.

Iya kan, pada saat Pilkada 2017. Presiden kan maunya pada saat itu. Basuki Cahaya Purnama, tapi kalah. Kemudian di Sumut juga begitu. Ketika Mas Djarot. Di Jawa Barat juga begitu. Artinya tuh, dia tidak otomatis.

Begitu pun ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintah. Ketika pada masa Pak SBY, contohnya. Nah, kader-kader PDI Perjuangan yang ikut dalam kontestan Pilkada, baik gubernur, bupati, wali kota, mampu tuh memenangkan berbagai daerah begitu loh.

Meskipun yang berkuasa pada waktu itu Pak SBY. Artinya presentasinya malah tinggi tuh. Pada saat itu hampir 40 persen lebih kita memenangkan calon kepala daerah yang kita usung dari kader sendiri, mungkin yang kita dukung.

Artinya apa? Bahwa itu tadi, karakteristik dinamika politik di masing-masing lokal, di masing-masing daerah tuh berbeda-beda.

Nah, jadi saya kasih gambaran tadi. PDI Perjuangan pernah di luar pemerintah, berpisah Pilkada, memenangkan banyak Pilkada.

Ketika PDIP berkuasa, belum tentu juga kadernya menang tetapi dalam kondisi ketika alat-alat negara relatif tidak cawe-cawe, tidak digunakan. Kalau dulu ada MK, Mahkamah Kakak. Sekarang ada Mahkamah Adik, kan artinya situasinya mirip aja, Bang?

Ya sekarang KPU-nya juga kemudian ikut-ikutan untuk mengubah itu juga.

Berarti kan sebenarnya indikasi ini mulai muncul?

Kalau itu dilakukan, ya. Itu tadi. Itu kan semakin telanjang ke publik. Tapi kalau saya melihat ini, mungkin di beberapa daerah bisa.

Bisa dikondisikan begitu, ya. Mungkin di daerah-daerah lainnya bisa mendatangkan resistensi dari masyarakatnya.(Tribun Network/Reynas Abdila)

Baca juga: KISAH NYATA : Curhatan Pelaku Judi Online : Rumah Tangga Hancur, Terlilit Utang Rp 500 Juta

Baca juga: Kala Biaya Kuliah di PTS Lebih Murah Dibanding PTN Jalur Mandiri

Baca juga: Semifinal Piala Eropa 2024 : Spanyol vs Prancis Duel Tim Tersukses Abad Ini

Baca juga: Detik-detik Ibu Pegi Bawakan Baju Ganti setelah Gugatan Praperadilan Dikabulkan PN Bandung

 

Berita Terkini