Berita Purbalingga

Kisah Mokhamad Ngajib Perwira Asal Purbalingga Gagal Menikah Karena Panai, Kini Mantan Menyesal?

Editor: raka f pujangga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Mokhamad Ngajib didampingi Kapolsek Tallo AKP Ismail saat memberikan keterangan resmi terkait tahanan kabur dari sel penjara di Polsek Tallo, Jalan Gatot Subroto, Kota Makassar, Sulsel, Rabu (19/7/2023).

TRIBUNJATENG.COM - Kisah gagal menikah karena uang panai yang terlalu tinggi seringkali terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan.

Berbeda dengan mahar, uang panai diberikan calon mempelai pria untuk membiayai resepsi pernikahan.

Biasanya, uang panai diberikan dari calon pengantin pria sesuai permintaan keluarga calon mempelai wanita.

Baca juga: Buah Bibir : Putri Isnari Jelaskan Uang Panai Rp 2 Miliar

Semakin besar uang panai maka semakin mewah resepsi pernikahan yang digelar dan menjadi kebanggan pihak perempuan.

Sementara mahar adalah pemberian dari calon pengantin pria kepada mempelai wanita yang akan menjadi milik si perempuan.

Mahar bisa berupa uang atau barang, seperti emas, berlian, rumah atau mobil.

Uang panai adalah tradisi Suku Bugis-Makassar.

Seringnya pihak keluarga mempelai wanita meminta uang panai tinggi, hingga ratusan juta bahkan miliaran, membuat banyak pasangan kekasih yang akhirnya batal menikah.

Sebab, sang pria tak sanggup memenuhi permintaan uang panai dari calon mertuanya.

Ternyata, kisah gagal menikah gegara uang panai tidak hanya dialami orang biasa.

Seorang polisi, alumni Akpol, bahkan pernah menjadi korban gagal menikahi wanita Bugis karena tingginya uang panai yang dimintai calon mertuanya.

Polisi itu adalah Kombes Pol Mokhamad Ngajib (52), yang kini menjabat Kapolrestabes Makassar.

Kisah Kombes Ngajib ini terjadi 27 tahun silam.

Yang dia ceritakan kepada sejumlah wartawan Makassar.

"Saya ini korban uang panai loh Mas," ujar perwira polisi kelahiran 1972 ini kepada jurnalis di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota, kawasan Toddopuli, Panakkukang, Makassar, akhir pekan ini.

Dua setengah dekade lalu, kata pria kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah ini, drama romantisme uang panai' itu membuatnya nyesek.

Kala itu, Ngajib jatuh hati ke gadis Bugis-Makassar.

Tak bertepuk sebelah tangan, cinta Ngajib disambut suka cita si wanita.

"Saat itu masih anak kos. Baru setahun lepas dari Akpol, 1996 dan saya ditugaskan jadi panit (perwira unit) reserse Polwiltabes (Makassar)," ujar alumnus Akpol Semarang 1995 itu.

Berkenalan dan dekat lebih setahun, Ngajib pun berencana melanjutkan tahap pacaran itu ke level serius, lamaran.

Si gadis bahagia. Ibu calon mertuanya tak kalah gembira.

Orangtua dan kerabat Ngajib, di Purbalingga, pun bersuka cita.

Waktu, tempat dan prosesi lamaran bersendi Islam dan adat Bugis-Makassar juga disepakati.

Kendala mulai muncul. Sesi pembicaraan lamaran pun sampai ke tahap uang panai'; besaran uang belanja atau ongkos pesta.

"Ibu pacar saya sudah setuju. Besaran uang panai' hanya formalitas," kenang Ngajib.

Sayang, cinta dan uang panai formalitas itu kandas di sikap calon mertua lelaki.

"Bapaknya tak setuju. Uang panai' itu yang harus dibayar saat seserahan (mappettuada)."

Bagi Ngajib dan kultur Jawa, uang panai khas Bugis Makassar itu, termasuk wah, dan mengejutkan.

"Untuk ukuran kami di Jawa itu buwessaaaarr sekali," ujarnya dengan mimik serius.

Berapa sih?

"Rahasiah lah.," ujar Ngajib tertawa.

Dan, tahapan cinta perwira Jawa dengan gadis Bugis itu pun kandas.

Lantas, siapa gerangan si gadis itu?

"Hahhaaa, mau tahu aja. Rahasialah, tak etis." ujar mantan Kapolrestabes Palembang itu, tertawa.

Seorang jurnalis kembali mengorek, "ngekosnya dulu di Makassar mana komandan?"

"Ahh, wartawan memang pandai bertanya," Ngajib kembali ngeles.

Bagi sebagian jurnalis, suasana kisah uang panai' di teras sekretariat AJI itu, kelakar belaka.

Namun, sebagian lain ingin menjadikannya in side persona story.

Ngajib yang sudah bergegas ke mobil dinas Innova DD 1995 ZZP, kembali ngakak saat jurnalis lain, memancing dengan pertanyaan lain.

"Ini kisah sejati, bahwa di balik perwira sukses ada penyesalan barisan mantan."

Ngajib menyebut, negasi uang panai itu adalah konfirmasi bahwa jodoh itu di tangan Tuhan.

Manusia, berencana belaka.

Penentu dan hasil akhir tetap jadi misteri qadarullah.

Andailah ayah pacar Ngajib di Makassar, sepakat dengan uang panai' formalitas, Noni Harsanelda (50), tak akan jadi istrinya.

Lima belas bulan sudah Ngajib mengemban amanah Kepala Kepolisian Resort Kota Besar ke-45 Makassar.

Dia menggantikan, leitching-nya, Kombes Pol Budi Haryanto, April 2023 lalu.

Karier perwira muda polisinya dimulai sebagai Pamapta Polwiltabes Ujung Pandang (1996-1997).

Setahun berselang, Mokhammad Ngajib mendapatkan promosi jabatan sebagai Kanitres Intel Polsekta Panakkukang (1997-1998).

Lalu dimutasi lagi menjadi Kanit VC Serse Polwiltabes Ujung Pandang (1998-1999).

"Saya ingat betul, saat itu banyak belajar dari Puang Ocha (Kolonel Polisi M Yusuf Manggabarani, saat itu menjabat Kapolwiltabes Ujungpandang, pascakerusuhan SARA 1997)."

Baca juga: Bikin Heboh saat Terima Uang Panai Rp 2 Miliar, Putri Isnari Blak-blakan Dipakai Buat Apa Saja

Setelah itu, Mokhammad Ngajib pun kembali ke Akpol sebagai Dantontar 3/1 (1999-2000).

Sebelum acara silaturahim dengan pengurus dan jurnalis AJI, seorang jurnalis berkelakar.

"Cocoklah, pak kapolrestabes datang ke sekret AJI malam-malam. Sebab, bintang itu tak jatuh di siang hari." (*)

 

Artikel ini telah tayang di Tribuntoraja.com dengan judul Wanita Itu Pasti Menyesal, Gagal Menikah dengan Alumni Akpol Gegara Uang Panai, Kini Kapolrestabes

Berita Terkini