Dokter Tewas di Kos Semarang

Tak Cuma Aulia, Kasus Bully di Undip dan RSUP Dr Kariadi Pernah Dialami Dokter PPDS Gizi Klinis

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Screenshot laporan dugaan terjadinya perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Gizi Klinis Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang yang sedang praktik di RSUP Dr Kariadi Semarang.

TRIBUNJATENG.COM, TEGAL - Tengah ramai di pemberitaan, seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Undip Semarang, ARL (30) diduga mengakhiri hidupnya di kamar kos Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, pada Senin (12/8/2024).


ARL diduga mengakhiri hidupnya karena mendapat perundungan di Program Pendidikan Anestesi Undip yang ada di RSUP Dr Kariadi. 


Dugaan tersebut tercantum dalam Surat Pemberhentian Program Anastesi Undip di RSUP Dr Kariadi bernomor surat TK.02.02/D/44137/2024 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI.


Empat bulan lalu pada April 2024, kasus serupa berupa perundungan juga terjadi di Fakultas Kedokteran Undip dan RSUP Dr Kariadi Semarang. 


Korbannya adalah dokter yang sedang menempuh PPDS Gizi Klinis. 


Kasus tersebut hingga dilaporkan oleh Masyarakat Peduli terhadap Pendidikan Indonesia kepada Kementerian Kesehatan RI.


Kepada tribunjateng.com, pelapor Agus Pranki Pasaribu mengatakan, ia melaporkan dugaan terjadinya perundungan tersebut atas nama masyarakat yang peduli terhadap dunia pendidikan Indonesia. 


Mahasiswa PPDS Gizi Klinis angkatan 26 mengalami perundungan yang dilakukan oleh konsulen atau senior angkatan 25.


Bentuk perundungannya dilakukan secara tidak langsung melalui WhatsApp dan komunikasi langsung. 


"Contoh di dalam grup ditentukan misalkan kewajiban mengecek Aqua, jebakan tikus, kopi, dan lain-lain. Saya pikir apa hubungannya dengan spesialis atau berkaitan dengan kemampuan profesional," katanya.


Agus mengatakan, perundungan secara langsung mahasiswa PPDS Gizi Klinis itu diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kompetensi. 


Misalnya harus mengikuti dan mendampingi konsulen dalam acara gala dinner, perjalanan, makan siang, belanja di toko, mengkoordinasi barang-barang bawaan dari berangkat sampai pulang dari luar kota, dan sebagainya. 


Ia menilai, semua itu tidak ada kaitannya dalam meningkatkan kualitas profesi dan tidak masuk kriteria dunia pendidikan. 


"Kalau kita melihat sumpah jabatan dokter, apa sih yang pertama menjadi sumpah. Hormat dan sama-sama menghargai rekan sejawat," ujarnya yang juga berprofesi sebagai advokat. 


Agus mengatakan, konsulen atau senior seringkali mengajak komunikasi tanpa mengenal batas waktu.

Halaman
12

Berita Terkini