TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sebanyak 26 mahasiswa alami luka-luka saat mengikuti aksi demonstrasi menentang revisi UU Pilkada di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Kamis (22/8/2024).
Dari puluhan mahasiswa itu, ada 18 mahasiswa masuk ke rumah sakit. Komite Aksi Kamisan Semarang, Iqbal Alma merinci selepas aksi sebanyak 15 mahasiswa masuk RS Roemani, 1 mahasiswa di RS Tlogorejo, 1 mahasiswa di RS Hermina Pandanaran, dan 1 mahasiswa di RS Kariadi.
Mayoritas mereka mengalami sesak nafas hingga pingsan.
Baca juga: Pernyataan Sikap 15 Civitas Akademika Unnes Soroti Sikap DPR Terkait Pilkada, Ini 5 Poin Pentingnya
Baca juga: ALASAN DPR Batal Sahkan RUU Pilkada, Rapat Tak Kuorum, Bukan Karena Demo Mahasiswa
Baca juga: Demo Tolak DPR Anulir Putusan MK, Nathanael Sebut Polisi Represif Saat Amankan Aksi Mahasiswa
"8 sisanya luka-luka tapi tak sampai dibawa ke rumah sakit. Luka paling parah dialami mahasiswa Undip kena tembak peluru gas air mata sampai dijahit hidungnya," terangnya.
Menurutnya, tindakan represif aparat kepolisian menggunakan gas air mata di Semarang bukan kasus baru.
Kasus ini sudah berulang kali dengan dalih alasan mengkondisikan situasi.
"Padahal penggunaan gas air mata itu tindakan kekerasan," bebernya.
Mahasiswa yang berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Jateng ini merupakan gabungan dari mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Semarang, seperti Undip, Universitas Negeri Semarang, UIN Semarang, dan kampus lainnya.
Demo mahasiswa ini sebagai reaksi penolakan atas upaya DPR mencoba mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan calon kepala daerah serta menetapkan usia minimal calon kepala daerah.
Sementara, Tim Kuasa Hukum massa aksi di Jateng, Ahmad Syamsudin Arief menyebut aksi tersebut sebagai bentuk protes penolakan Revisi UU Pilkada.
Menurutnya, aksi awalnya berjalan lancar berjalan dari gedung depan kantor DPRD Jateng sampai ke pintu samping.
Dari pintu samping gedung DPRD dekat Taman Indonesia Kaya, rencana awal mahasiswa akan masuk ke halaman DPRD untuk aksi simbolik menyegel gedung. Mahasiswa ketika masuk berjalan dengan cara jongkok.
"Kami mau masuk untuk simbolis segel gedung dan bikin sidang rakyat di halaman DPRD Jateng. Namun, kami dihadang polisi lalu ditembaki gas air mata," ungkapnya.
Arif menyebut, hingga saat ini pihaknya masih terus memantau, terkait keadaan demonstran pasca aksi unjuk rasa dibubarkan pukul 14.00 tadi.
"Kami membuka hotline aduan jika ada kawan-kawan yang mendapat tindakan represif,"imbuhnya.
Terpisah, Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto menyebut tindakan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai dengan Perkap Nomor Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dan Tindakan Kepolisian.
"Sangat disayangkan aksi unjuk rasa berujung ricuh. Namun kami bersyukur tidak ada korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut," ujarnya.
Punya 4 Tuntutan
Mahasiswa semarang memiliki empat tuntutan dalam Aksi demonstrasi menentang revisi UU Pilkada di Jalan Pahlawan, Kota Semarang.
Empat tuntutan mahasiswa tersebut disampaikan oleh Ketua BEM Universitas Diponegoro (Undip) Farid Darmawan selepas aksi, Kamis (22/8/2024) sore.
Farid mengatakan, tuntutan pertama mendesak DPR tidak melakukan pengesahan revisi UU Pilkada.
Tuntutan kedua, mendesak KPU menindaklanjuti putusan MK yang bersifat final dan mengikat sebab tidak ada hukum lain yang lebih tinggi.
Kemudian, menolak segala bentuk nepotisme dan praktik politik dinasti dalam keberlangsungan demokrasi.
"Terakhir, kami menuntut pejabat negara untuk tidak mencederai marwah hukum dan melakukan pembangkangan terhadap konstitusi demi kepentingan golongan tertentu," paparnya.
Para mahasiswa mengaku sudah jengah dengan pemerintah sebab dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Februari lalu masyarakat sudah dikangkangi konstitusi.
Rakyat juga dipaksa menerima keputusan final dari Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dan tanggapan presiden kala itu mengatakan MK itu putusan tertinggi, sekarang ketika MK mencoba mengembalikan marwah demokrasi, marwah hukum, bahkan marwah MK malah dikatakan ini bisa dibicarakan atau didiskusikan ulang. Loh kok presiden tidak konsisten?," ungkap Farid.
Koordinator Aksi, Natael Bremana mengatakan, meskipun ada isu penundaan revisi UU Pilkada, pihaknya tak menelan mentah-mentah karena paham kerja-kerja DPR.
Sebaliknya, jika revisi UU Pilkada benar-benar disahkan tentu akan kelompoknya akan melakukan boikot pilkada diiringi aksi yang lebih besar.
"Kerusakan demokrasi bukan hanya UU pilkada saja tapi kerusakan demokrasi sudah meluas di bawah rezim Jokowi," paparnya yang juga Ketua Presidium PMKRI Cabang Semarang ini.
(iwn)