TRIBUNJATENG.COM - Apa Itu Supremasi Sipil? Ini Kaitannya dengan Revisi UU TNI yang Baru Disahkan
Supremasi sipil merupakan paham yang menempatkan kekuasaan warga sipil di atas kekuasaan militer.
Sehingga rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi.
Paham supremasi sipil bersumber pada sistem demokrasi liberal yang mendudukkan martabat manusia secara individu memiliki hak yang sama dan tidak dapat diganggu gugat.
Kontrol sipil menempatkan tanggung jawab utama pengambilan keputusan strategis suatu negara dimiliki para pemimpin politik sipil selaku wakil rakyat, bukan perwira militer.
Melansir dari Pengantar Ilmu Politik (2024), supremasi sipil terbentuk dalam sistem demokrasi jika pejabat pemerintahan yang dipilih rakyat memperjuangkan kepentingan mereka.
Pemerintah sipil dalam supremasi sipil sah dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, jujur, dan adil.
Supremasi sipil mengharuskan konstitusi dan hukum mesti dipatuhi pemerintah sipil dan warga negara.
Hukum tersebut dibuat pemerintah sesuai kebutuhan sipil, melalui studi berjudul Routes to Reform: Civil-Military Relations and Democracy in the Third Wave (2023),
Membagi tingkatan kontrol sipil terhadap militer.
Kontrol sipil tinggi jika militer tidak memiliki hak prerogatif atau kekuasaan formal dan tidak menantang otoritas sipil.
Kontrol sipil sedang jika otoritas pengambilan keputusan sipil tidak diinstitusionalisasi, tetapi bergantung dengan hubungan personal antara sipil dan militer.
Kemudian, kontrol sipil dikatakan rendah jika militer mendominasi pengambilan keputusan atau pelaksanaan politik suatu negara.
Kaitannya dengan UU RUU TNI
Pasca pengesahan revisi UU TNI, Ketua DPR Puan Maharani berjanji jika akan tetap berlandaskan pada prinsip supremasi sipil.
Melansir Kompas.com, janji supremasi sipil tetap berlaku meski pemerintah mengesahkan perubahan UU TNI.
Hal itu disampaikan Puan dalam Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
"Kami bersama pemerintah menegaskan Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi,
supremasi sipil, hak asasi manusia, serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah disahkan," ujar Puan.
Penetapan revisi UU TNI menjadi undang-undang mengubah tiga poin dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Perubahan itu meliputi aturan TNI aktif boleh menjabat di 14 kementerian/lembaga dan usia pensiun TNI bertambah.
Serta penambahan tugas pokok TNI membantu penanggulangan ancaman siber serta melindungi warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri.
Namun pengesahan revisi UU TNI tersebut bisa saja menjadi media penerapa supremasi militer pada hubungan antara warga sipil dan personel militer.
Supremasi militer terjadi ketika ada upaya militer menguasai warga suatu negara dalam ranah sipil dan politik.
Upaya perwira profesional yang mengendalikan politik nasional disebut sebagai kondisi kediktatoran militer.
Perwira militer seharusnya hanya memiliki tanggung jawab utama di luar lingkup politik dan bersikap netral secara politis.
Partisipasi perwira militer dalam politik justru merusak profesionalismenya.
Adanya tindakan intervensi militer dalam politik disebut sebagai gangguan dalam tatanan politik demokratis liberal.
Militer cenderung akan mengontrol pembangunan nasional suatu negara jika legitimasi pemerintah sipil melemah dan elite sipil gagal menyelesaikan masalah secara demokratis.
Masuknya militer dalam urusan sipil selain terkait tanggung jawabnya, akan mengakibatkan kondisi politik negara menjadi tidak sehat dan menghambat demokrasi.
Di saat yang sama, usaha elite sipil memperalat militer untuk kepentingan politiknya pun menjadi faktor yang dapat menghambat pembangunan demokrasi.
Pembangunan negara baru berhasil jika sipil dapat mewujudkan prestasi baik dalam proses demokrasi, dan militer tidak mengganggu pemerintahan sipil. (*)