TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Ketimpangan anggaran pendidikan di Indonesia kembali jadi sorotan. Kali ini, kritik tajam datang dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng yang menilai pemerintah tidak adil dalam mendistribusikan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) antar satuan pendidikan.
Ketua PWNU Jateng KH Abdul Ghaffar Rozin atau yang akrab disapa Gus Rozin menuturkan ada selisih cukup mencolok dalam besaran BOP antara sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dengan madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).
“Selisihnya bisa sampai Rp400 ribu hingga Rp450 ribu per peserta didik. Ini jelas bentuk ketidakadilan,” ujar Gus Rozin, Senin (24/3/2025).
Menurutnya, perlakuan berbeda terhadap lembaga pendidikan semacam ini tidak bisa dibenarkan. Semua peserta didik apapun latar belakang sekolahnya adalah anak bangsa yang memiliki hak yang sama.
“Orang tua mereka juga bayar pajak. Tidak boleh ada diskriminasi hanya karena beda kementerian,” tegasnya.
PWNU Jateng meminta agar pemerintah segera menyamakan besaran BOP untuk semua satuan pendidikan.
Terlebih, di tengah wacana efisiensi anggaran, madrasah justru jangan dijadikan pihak yang dikorbankan.
Selain soal anggaran, PWNU Jateng juga mendesak pemerintah meninjau kembali kebijakan full day school.
Sistem sekolah lima hari dengan durasi 8 jam per hari itu dinilai memunculkan banyak dampak negatif bagi peserta didik, khususnya dalam aspek spiritual dan psikologis.
“Banyak sekolah tidak punya tempat ibadah yang layak. Akibatnya, siswa harus antre panjang hanya untuk shalat dzuhur. Sering kali mereka jadi lelah menunggu, dan akhirnya tidak shalat sama sekali,” ungkap Gus Rozin.
Ia menambahkan, situasi semacam ini terjadi di banyak sekolah non-pesantren, yang fasilitas keagamaannya terbatas.
Padahal, shalat adalah bagian penting dari pendidikan karakter dan spiritual anak.
Lebih dari itu, sistem full day school juga dinilai mematikan kegiatan keagamaan nonformal seperti madrasah diniyah.
Ketika siswa harus pulang sore, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar agama di luar jam sekolah.
“Kalau kembali ke sistem enam hari sekolah seperti dulu, anak-anak masih bisa ikut madrasah sore. Ini penting untuk keseimbangan pendidikan mereka, tidak cuma akademik,” jelasnya.