TRIBUNJATENG.COM, BANDUNG -- Kasus yang mencuat dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada April 2025 menyentakkan nurani publik.
Sosok yang selama ini dipercaya sebagai penyelamat nyawa—dokter—justru menjadi pelaku tindakan keji terhadap keluarga pasien.
Priguna Anugerah Pratama, seorang dokter residen anestesi, bukan hanya melanggar sumpah profesinya, tetapi juga memperlihatkan sisi gelap yang jarang disorot: kelainan seksual yang berujung pada tindakan kriminal.
Priguna, pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, yang kini berusia 31 tahun, sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Ia telah menikah, dan secara kasat mata, kehidupan pribadinya tampak "normal".
Namun, hasil penyelidikan Polda Jawa Barat mengungkap sisi lain dari dirinya—ia memiliki kecenderungan perilaku seksual menyimpang, yang kini menjadi salah satu fokus penyidikan lanjutan.
Kelainan seksual bukan sekadar istilah yang dapat dilekatkan tanpa dasar.
Dalam kasus ini, polisi telah memulai koordinasi dengan psikolog forensik dan para ahli kejiwaan untuk menelusuri lebih dalam kondisi mental dan motivasi seksual pelaku. Hal ini penting, karena mengungkap pola dan potensi gangguan psikoseksual bukan hanya membantu proses hukum, tapi juga bisa mencegah potensi korban berikutnya.
Bahaya yang Mengintai dalam Senyap
Kasus Priguna menjadi pengingat keras bahwa predator seksual tidak selalu datang dengan wajah menyeramkan atau perilaku mencurigakan.
Mereka bisa bersembunyi di balik identitas sosial yang terhormat, termasuk di lingkungan profesional seperti dunia medis. Ini menjadi tantangan besar bagi institusi pendidikan dan rumah sakit: bagaimana menyaring, mengawasi, dan memastikan bahwa orang-orang yang dipercaya menangani pasien adalah individu yang sehat secara mental dan etis.
Tidak sedikit pelaku kekerasan seksual yang ternyata memiliki latar kelainan seperti voyeurism, frotteurism, atau bahkan sadistic sexual disorder.
Namun, karena masih minimnya pemahaman dan keberanian mengangkat isu ini secara terbuka, banyak yang lolos dari perhatian hingga akhirnya terjadi kasus seperti ini.
Kasus ini harus menjadi momen introspeksi bagi seluruh lembaga pendidikan dan layanan kesehatan.
Pemeriksaan psikologis secara berkala, bukan hanya soal stres kerja atau burnout, tapi juga mengenai aspek psikoseksual, perlu menjadi standar baru dalam dunia medis.
Sebagai tenaga medis, dokter bukan hanya bekerja dengan keterampilan tangan, tetapi juga dengan empati dan kepercayaan.
Ketika kepercayaan itu disalahgunakan, maka yang rusak bukan hanya fisik korban, tetapi juga struktur sosial yang mempercayai sistem kesehatan.
Kini, Priguna Anugerah ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Tapi lebih dari sekadar hukuman, kasus ini membuka tabir tentang bagaimana kelainan seksual yang tidak tertangani bisa menjadi awal dari bencana besar.
Sudah saatnya kita berhenti melihat kelainan seksual hanya sebagai aib pribadi, dan mulai menanggapinya sebagai bagian dari masalah kesehatan mental dan sosial.
Deteksi dini, pendekatan psikologis yang tepat, serta sistem pengawasan yang ketat adalah kunci mencegah terulangnya tragedi serupa.
Satu hal yang pasti: Priguna bukan hanya “dokter cabul”. Ia adalah alarm keras bahwa predator bisa lahir di ruang akademik, berkembang dalam sistem longgar, dan akhirnya menyakiti mereka yang paling tidak berdaya—keluarga pasien.
Baca juga: Halal Bihalal Keluarga Besar USM dan Yayasan Alumni Undip, Rektor: Unggul Bukan Tujuan Akhir
Baca juga: Sosok KH Sholeh Darat, Ulama Nusantara Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Baca juga: Chord Gitar Lagu Berpisah Kerispatih