Unsoed

Kemandirian Perempuan, Kunci Masyarakat Bebas Kekerasan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRI WURYANINGSIH: Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si. (TRIBUN JATENG/ISTIMEWA)

Kemandirian Perempuan, Kunci Masyarakat Bebas Kekerasan
Oleh: Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si.


Pendahuluan

Data dari berbagai sumber, seperti Perempuan dan Laki-laki di Indonesia 2024 (BPS, 2024), Profil Perempuan Indonesia 2023 (Kementerian PPPA RI, 2023), dan Indeks Ketimpangan Gender 2023 (BPS, 2024), menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi ketertinggalan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, sosial, politik, kesehatan, hingga teknologi informasi.

Kesenjangan gender ini menyebabkan perempuan bergantung pada laki-laki, tidak mandiri, dan tidak memiliki posisi tawar baik di dalam keluarga maupun masyarakat.

Baca juga: Dari Ladang ke Laboratorium: Perjalanan Tsabitatun Menjadi Apoteker lewat Bidik Misi UNSOED

Ketidakberdayaan ini memperbesar potensi ketidakadilan gender, seperti subordinasi (perempuan dianggap lemah), marginalisasi, stereotip negatif, beban ganda, hingga kekerasan dalam berbagai bentuk — fisik, seksual, psikis, dan ekonomi.

Berdasarkan CATAHU 2024, tercatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 9,77 persen dari tahun sebelumnya.

Dari data mitra CATAHU, kekerasan seksual tercatat paling tinggi, disusul kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.

Data ini menunjukkan pentingnya upaya memberdayakan perempuan agar terhindar dari kekerasan.

Tingkatan Keberdayaan Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan dapat ditekan jika perempuan memiliki kemandirian.

Menurut The Women's Empowerment Framework oleh Longwe (1995), pemberdayaan perempuan dimulai dari lima tingkatan: kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol.

Pertama, kesejahteraan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar perempuan, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Kedua, akses mencakup kesempatan memperoleh sumber daya, seperti air, tanah, kredit, pelatihan, hingga perlindungan hukum. 

Ketiga, kesadaran kritis, di mana perempuan memahami ketidakadilan yang mereka hadapi dan mengorganisasi diri untuk melakukan perubahan.

Keempat, partisipasi dalam proses perencanaan, kebijakan, dan pembangunan.

Halaman
12

Berita Terkini