Mendengar pengakuan itu, kemudian muncul reaksi spontanitas dari sejumlah santri.
Namun, Adi Susanto menyebut aksi spontanitas tersebut bukan tindakan penganiayaan.
"Bahwa yang perlu kita tekankan, atas nama yayasan menyanggah soal adanya penganiayaan itu. Apa yang terjadi di pondok adalah aksi spontanitas saja dari santri, yang tidak ada koordinasi apapun," ungkapnya.
Usai peristiwa tersebut, KDR diketahui dijemput oleh kakaknya. Kemudian KDR meninggalkan pondok tanpa berpamitan.
"Nah, entah siapa yang memulainya, tiba-tiba (KDR) keluar dari pondok tanpa pamit dan segala macamnya lah ya ke yayasan dan tiba-tiba muncul lah yang namanya laporan Kepolisian di Polsek Kalasan pada saat itu," ujar Adi.
Mediasi Gagal
Dikatakan Adi, yayasan kemudian berusaha menjadi mediator untuk memfasilitasi terjadinya perdamaian dalam persoalan tersebut.
Namun, di dalam mediasi tersebut tidak ada titik temu.
"Nah, yang membuat mediasi itu menjadi gagal pada akhirnya itu dikarenakan permintaan kompensasi atau tuntutan kompensasi dari keluarga saudara (KDR) ini yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh santri, yang notabene ini (santri) orang-orang yang tidak punya, yang notabene datang ke sini dalam keadaan gratis," ucapnya.
Dari yayasan, lanjut Adi Susanto, kemudian menengahi dengan menawarkan membantu biaya pengobatan untuk KDR.
"Kami dari yayasan menawarkan angkanya Rp 20 juta. Tapi sekali lagi itu tidak pernah bisa diterima sampai akhirnya upaya mediasi berulang kali itu menjadi gagal," tuturnya.
Adi menyampaikan saat ini dirinya juga menjadi kuasa hukum 13 orang santri terkait laporan dugaan penganiayaan.
"Maka selain sebagai kuasa hukum yayasan, saya, kami juga menjadi kuasa hukum daripada seluruh santri yang dilaporkan tadi itu," katanya.
Persoalan Antar Santri
Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji memastikan peristiwa yang berujung pada tuduhan melakukan penganiayaan merupakan persoalan santri dengan santri.