“Kalau ada warga yang sakit dan butuh bantuan, kami bantu antar ke rumah sakit atau bantu biaya.
Warung makan di sekitar juga ikut terbantu karena banyak santri yang belanja di sana,” tambah Bambang.
Meski masa lalunya penuh kontroversi, kini Dimas Kanjeng memilih menempuh jalur berbeda.
Pihak keluarga menyatakan mereka tetap menghormati proses hukum yang sudah dilalui, meskipun secara pribadi meyakini Dimas Kanjeng tidak bersalah.
“Kami ikuti proses hukum. Tapi sekarang yang penting beliau bisa kembali ke masyarakat dan fokus menyebarkan ajaran kebaikan,” ucap Daeng Uci.
Masyarakat sekitar pun menyambut perubahan ini dengan positif. Mereka berharap suasana damai dan kebermanfaatan dari kegiatan di padepokan dapat terus berlanjut.
Sebelumnya, Dimas Kanjeng Taat Pribadi divonis 18 tahun penjara oleh pengadilan negeri Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pada 2016 lalu.
Majelis hakim menyebut pemilik padepokan 'pengganda uang' itu terbukti menganjurkan pembunuhan berencana terhadap dua orang.
"Terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti menganjurkan pembunuhan yang direncanakan itu.
"Sejumlah unsur mulai dari secara sengaja, berencana serta menghilangkan nyawa orang lain telah terbukti dalam persidangan," tutur ketua Majelis Hakim, Basuki Wiyono, Selasa (1/8/2017).
Vonis tersebut lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni hukuman seumur hidup.
Nama Taat Pribadi atau yang dikenal dengan Dimas Kanjeng populer pada akhir 2016 lalu.
Laki-laki yang memiliki padepokan di Probolinggo ini mengklaim bisa menggandakan uang hingga seribu kali dari jumlah yang disetorkan.
Kasus hukum membelitnya ketika Dimas Kanjeng dituding menipu, dan merencanakan pembunuhan dua bekas anak buahnya, Ismail Hidayah (tewas pada Februari 2015) dan Abdul Ghani (tewas pada April 2016).
Mereka dibunuh karena Dimas disebut khawatir, keduanya akan membocorkan dugaan praktik penipuan penggandaan uang.