Tak heran, ketika melintasi jalan setapak itu, bau kotoran manusia acapkali menyapa hidung.
Ketika ditemui di rumahnya, Siagian baru saja pulang dari mencari barang rongsokan. Pekerjaan pria ini adalah pemulung.
"Soal spanduk saya baru tahu tadi pagi. Tentu saya kaget tapi saya belum bisa mengambil kesimpulan apa maksud dari spanduk tersebut," jelas Siagian.
Menanggapi soal petisi warga yang menudingnya membakar sampah sembarang, Siagian membantahnya.
"Itu bukan sampah, tapi barang rongsokan yang saya jemur di pinggir jalan karena tidak ada tempat, itupun nanti saya rapikan lagi," terangnya.
Kemudian soal anjing, diakuinya melepas anjing peliharaannya pada malam hari. "Saya ketika melepas anjing saya pada malam hari selalu saya pantau. Habis itu saya masukan ke rumah lagi," paparnya.
Sementara soal tudingan tak pernah bersosialisasi dengan warga, dia meminta maaf kepada warga.
"Saya kerja dari subuh sampai malam mencari dan memilah rongsokan untuk menghidupi keluarga jadi mohon maaf kalau kurang sosialisasi. Namun, saya selama ini juga tidak pernah diundang arisan warga," bebernya.
Siagian mengaku, kini hanya bisa pasrah dengan tuntutan warga tersebut. Namun, dia mempertanyakan ketika diminta pindah siapa yang mau bertanggungjawab.
"Tolong berikan solusi, jangan asal usir , itu melanggar HAM. Silahkan usir tapi carikan tempat untuk kami tinggal," tuturnya.
Sementara istri Siagian, Imelda (55) mengatakan, kasus penutupan pagar rumahnya dengan seng telah membuatnya stres sekarang ditambah dengan pengusiran oleh warga.
Dia menambahkan, selepas muncul spanduk penolakan warga itu menjadi takut akan diteror dan diusir warga.
"Kami bukan kriminal, kami meminta perlindungan dari pemerintah dan aparat," paparnya.
Duduk Perkara Kasus
Konflik antara Siagian dengan warga RT 7 RW 1 Bendan Ngisor dimulai dari konflik soal tanah antara Sri Rejeki dengan Siagian yang sudah berlangsung sejak tahun 2015 lalu.