Seorang perwakilan manajemen ditetapkan tersangka karena dianggap melanggar hak cipta dengan memutar lagu berlisensi tanpa izin di tempat usaha.
Tepatnya pada 24 Juni 2025, Polda Bali secara resmi menetapkan IAS, Direktur PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan) sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran tindak pidana hak cipta.
Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik untuk penggunaan secara komersial.
Polemik ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha karena tak ingin mengalami nasib serupa.
Baca juga: Judika Blak-blakan Alasan Absen Diskusi Royalti Musik yang Digagas Ahmad Dani, Terlanjur Tersinggung
Baca juga: Pemilik Kafe Banyumas Mulai Tepuk Jidat: Putar Suara Burung Saja Bisa Kena Royalti
Aturan Royalti di Ruang Usaha dan Besarannya
Royalti musik di ruang usaha merujuk pada aturan dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.
Mekanisme pengumpulan dan distribusi royalti dilaksanakan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dan LMK sektoral seperti WAMI, KCI, RAI, dan lainnya.
Besarnya royalti tergantung pada jenis usaha dan jumlah kursi atau luas ruangan.
Untuk restoran dan kafe, tarif umumnya adalah Rp60.000 per kursi per tahun.
Namun untuk usaha besar seperti waralaba atau brand ternama, tarif bisa dua kali lipat yaitu Rp120.000 per kursi per tahun.
Namun implementasinya tidak sesederhana itu.
Banyak pelaku usaha tidak pernah mendapatkan sosialisasi yang memadai, tidak tahu bagaimana cara membayar, lagu apa saja yang wajib royalti, bahkan bingung apakah lagu dari YouTube dan Spotify juga termasuk.
Polemik justru meruncing ketika pendekatan yang digunakan cenderung bersifat represif, bukan edukatif.
Penahanan terhadap pihak Mie Gacoan memicu ketakutan pelaku usaha lainnya.
UMKM dan pelaku usaha skala kecil merasa disodorkan tanpa diberi pemahaman terlebih dahulu. (*)