Berita Pendidikan

Waduh! Riset Profesor Asing Ungkap Praktik Serangan Fajar Jadi Penyebab Korupsi Masif di Indonesia

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BEDAH FILM - Peneliti asal Belanda, Prof. Ward Berenschot saat memberikan paparannya dalam nonton bareng film Amplop Demokrasi di Ruang Teater FISIP Undip, Rabu (20/8/2025). Selain itu, dilakukan juga bedah film yang menghadirkan sejumlah pakar.

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) menggelar acara nonton bareng film dokumenter Amplop Demokrasi di Ruang Teater FISIP Undip, Rabu (20/8/2025) sore.

Kegiatan yang berlangsung pukul 13.30 hingga 16.30 WIB ini dihadiri ratusan mahasiswa, dosen, serta civitas akademika FISIP Undip.

"Film ini bukan sekadar tontonan, tetapi menjadi refleksi bagi kita semua tentang bagaimana demokrasi dijalankan dan apa tantangan yang sedang dihadapi Indonesia,” kata Dekan FISIP Undip, Dr. Drs. Teguh Yuwono dalam sambutannya.

Baca juga: Mahasiswa KKN-T UNDIP Latih Warga Desa Wisata Lerep Tangani Kesehatan dan Keselamatan Wisatawan

Adapun Prof. Ward Berenschot merupakan Profesesor dari Comparative Political Anthropology, University of Amsterdam & Senior Researcher, KITLV.

Ia melakukan riset tentang politik uang yang telah mengakar kuat dalam dunia perpolitikan Indonesia.

Ia tak sendiri, melainkan bersama 14 peneliti lain dari Indonesia. Mereka meneliti 14 calon kepala daerah dalam proyek ini tentang biaya politik mereka selama masa kampanye.

Dalam proses penggarapan film dokumenter berdurasi 45 menit itu, juga merupakan hasil kerjasama dengan rumah produksi Watchdoc, yang dikenal aktif dalam penggarapan video dokumenter.

Prof. Ward mengatakan, hasil penelitian ini dirasa tak cukup jika hanya terpublikasi lewat karya ilmiah.

Maka, film dokumenter menjadi sarana yang mudah untuk menjangkau lebih banyak kalangan luas.

Ward menegaskan bahwa tingginya ongkos politik menjadi akar dari banyak persoalan di Indonesia.

“Film Amplop Demokrasi ini memperlihatkan bahwa ongkos politik di Indonesia terlalu tinggi. Kampanye pemilu menjadi sangat mahal, sehingga memunculkan banyak masalah seperti korupsi, dominasi oligarki, hingga kerusakan lingkungan. Ongkos politik yang besar membuat kandidat merasa perlu ‘balik modal’, sehingga praktik korupsi semakin langgeng,” jelasnya.

Ward juga menyinggung praktik serangan fajar yang dulu dilakukan secara diam-diam, kini justru sudah dianggap hal yang biasa. 

“Sejak saya meneliti pemilu Indonesia pada 2009, praktik bagi-bagi uang sudah ada, meski masih kecil dan dianggap memalukan. Tetapi sekarang hampir semua calon yang saya temui mengatakan, tanpa uang mereka tidak mungkin menang. Artinya, praktik ini sudah menjadi sistematis dan masif,” ungkapnya.

Menurutnya, penyebab utama praktik politik uang sulit diberantas adalah lemahnya pengawasan.

“KPU dan Bawaslu tidak cukup tegas. Padahal praktik ini jelas pelanggaran. Risikonya kecil, kasus yang dibawa ke pengadilan sedikit sekali. Akibatnya politisi pun tidak malu lagi untuk melakukannya,” tambah Ward.

Ia juga menyebut fenomena tersebut sebagai lingkaran setan antara politisi dan masyarakat.

Baca juga: Undip Sambut 16.380 Mahasiswa Baru, Gubernur Jateng Hadir Hangatkan Suasana PMB 2025

Masyarakat merasa wajar menerima amplop karena melihat pejabat dan investor menjadi semakin kaya, sementara kandidat terjebak pada biaya kampanye yang tinggi sehingga bergantung pada modal besar dari para penyokong.

“Pemerintah Indonesia harus berani membuat undang-undang pemilu baru yang bisa mengurangi biaya politik, termasuk mahar politik. Reformasi ini penting supaya demokrasi tidak hanya dikuasai kalangan kaya, tetapi memberi ruang bagi orang biasa yang punya kapasitas dan visi,” tegas Ward.

Selain Ward, hadir pula dua dosen FISIP Undip sebagai pembahas, yaitu Dr. Nur Hidayat Sardini, (Ketua Departemen Ilmu Politik & Ilmu Pemerintahan) serta Muhammad Bayu Widadgo, (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi). (*)

Berita Terkini