Berita Jateng

Walhi Kritik Pemerintah yang Gagap Hadapi Anomali Cuaca di Pesisir Utara Jawa, 8 Orang Tewas

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ANOMALI CUACA - Deretan perahu nelayan yang diparkir di dermaga Kalibanger, Tambaklorok, Kota Semarang, Selasa (19/8/2025). Nelayan tradisional kini dihadapkan pada ancaman baru berupa cuaca tak menentu akibat krisis iklim.

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Anomali cuaca di pesisir utara Jawa  menyebabkan 11 warga di Jawa Tengah tenggelam di laut.

Dari belasan korban tersebut, delapan orang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Korban lainnya masih dalam tahap pencarian.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah menilai, peristiwa tersebut menjadi bukti pemerintah sangat lemah mengelola sistem peringatan dini yang berbasis komunitas, tata kelola pesisir yang buruk  dan minimnya perlindungan sosial-ekonomi bagi nelayan kecil.

Pemerintah juga dinilai sangat gagap dalam menghadapi anomali cuaca tersebut hingga menimbulkan korban jiwa.

"Di dalam rentetan peristiwa tragis ini, sayangnya respon pemerintah masih dominan bersifat reaktif, sebatas pada evakuasi korban dan pencarian hilang," kata Deputi Direktur WALHI Jawa Tengah, Nur Colis dalam keterangan tertulis, Kamis (21/8/2025).

Menurut Colis, kejadian tersebut bukan sekadar musibah laut, melainkan alarm keras bagi pemerintah, publik, dan pemangku kepentingan untuk lebih serius menanggapi anomali cuaca dan kerentanan masyarakat pesisir di tengah krisis iklim.

Kejadian ini bukan peristiwa tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, pola cuaca di pesisir utara Jawa kian tidak menentu.

"Musim angin baratan dan timuran yang dahulu relatif terprediksi kini berubah dengan intensitas gelombang ekstrem dan badai mendadak," ujarnya.

Dalam hal ini, kata Colis, para nelayan dan pemancing yang menggantungkan hidupnya di laut menjadi kelompok paling rentan.

"Anomali musim akibat perubahan iklim kemudian semakin mempertegas lemahnya sistem informasi, mitigasi, dan peringatan dini yang seharusnya melindungi masyarakat pesisir dari risiko bencana," paparnya.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk  memperkuat sistem peringatan dini yang inklusif dan berbasis komunitas.

Kemudian menyusun kebijakan perlindungan nelayan dari risiko perubahan iklim.

"Hentikan model pembangunan pesisir yang abai terhadap keselamatan ekologi dan manusia," paparnya.

Cerita Nelayan

Nelayan Tambakrejo, Tanjung Mas, Kota Semarang, Marzuki membenarkan bahwa beberapa tahun terakhir terjadi ketidakwajaran cuaca.

Halaman
12

Berita Terkini