Berita Eksklusif

Halalbihalal Berujung Panggilan Polisi, Nenek Endang Didenda Rp115 Juta Terkait Hak Siar Vidio.com

Penulis: Rezanda Akbar D
Editor: muh radlis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DIDENDA - Nenek Endang (78) (kerudung hijau) asal Klaten saat memenuhi undangan ke Ditreskrimsus Polda Jateng soal hak siar Sepak Bola oleh Video.com/TRIBUNJATENG/REZANDA AKBAR D.

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Endang (78), warga Klaten, tak pernah menyangka acara halalbihalal keluarganya pada Mei 2024 lalu berbuntut panjang. 


Nenek berusia lanjut itu datang ke kantor Ditreskrimsus Polda Jateng, Senin (25/8/2025), ditemani menantu dan cucunya. 


Endang yang berjalan menggunakan tongkat bantu itu, datang untuk memenuhi panggilan mediasi terkait dugaan pelanggaran hak cipta siaran bola milik vidio.com.

Baca juga: 5 Fakta Pemilik Warung di Jawa Tengah Disomasi dan Didenda Ratusan Juta Gegara Siaran Sepakbola

Baca juga: Ditakut-takuti Somasi-Denda Rp50 Juta, Pemilik Warung di Madiun Pilih Bayar Hak Siar Bola Rp13 Juta


Kebetulan saat itu warung kopi yang juga di rumahnya itu buka.


“Awalnya itu kan halal bihalal. Kita kumpul keluarga saja, bukan niat nonton bareng. Terus ada orang datang bertubuh tegap pesan kopi hitam dua terus foto-foto," tutur Endang.


Endang mengatakan tidak mengetahui siapa yang menyetel siaran bola tersebut. 


Endang menegaskan, warung kopi miliknya di Klaten tidak pernah menjual tiket atau membuat acara resmi nonton bareng. 


Dia mengaku hanya berlangganan siaran resmi untuk konsumsi pribadi. 


“Kalau nobar itu kan diniati, ada tiket, ada komersil. Wong kita enggak ada tiket, enggak ada apa-apa. Itu acara keluarga,” jelasnya.


Namun, pada 2 Juni 2024, sebulan setelah pertemuan keluarga itu, Endang menerima somasi.


Dia dituding melanggar hak cipta karena menayangkan pertandingan di tempat umum.


Jumlah ganti rugi yang diminta membuatnya kaget. 


“Mintanya Rp115 juta, saya tidak ikhlas. Lha wong saya ini orang tua, sakit jantung, sudah 22 tahun minum obat. Rasanya itu berlebihan sekali,” tutur Endang.


Di hadapan penyidik, Endang berkisah bahwa saat acara berlangsung ada orang asing datang dan memotret. 


“Bajunya hitam-hitam, beli kopi. Tahu-tahu moto-moto. Saya jadi curiga, kok kayak cari-cari kesalahan,” ucapnya.


Meski hatinya kesal, Endang tetap berusaha tenang. 


Dia menyerahkan sepenuhnya proses mediasi kepada anak dan menantunya. 


“Saya ini nenek-nenek. Kesal iya, tapi ya harus berani. Insyaallah enggak apa-apa,” katanya pelan.


Bagi Endang, kasus ini terasa janggal. Ia merasa acara keluarga diperlakukan seolah-olah sama dengan bisnis nonton bareng berbayar. 


“Kalau memang ada bukti kita jual tiket ya silakan. Tapi ini kan cuma kumpul keluarga. Rasanya berat sekali kalau dipaksa bayar segitu,” imbuhnya.


Kini, kasus Endang menjadi salah satu contoh bagaimana regulasi hak cipta siaran pertandingan masih menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat kecil.


Bagi Endang, yang awalnya hanya ingin mengisi kebersamaan keluarga, perjalanan ke Polda terasa seperti drama yang tak pernah ia bayangkan. 


Sementara itu, Kuasa hukum Indonesia Entertainment Group (IEG), Ebenezer Ginting dari Ginting & Associates Law Office, menegaskan bahwa konten Liga Inggris hanya boleh ditayangkan secara pribadi di rumah. 


Sementara jika digunakan di ruang usah kafe, bar, atau tempat komersial lain diperlukan lisensi khusus.


“Klien kami adalah pemegang lisensi eksklusif Liga Inggris. Artinya masyarakat boleh menikmati di rumah secara privat. Tapi kalau dipakai sebagai ikon usaha, seperti nonton bareng atau diputar di zona komersial, itu melanggar. Ada lisensi khusus yang harus dibayarkan,” kata Ebenezer saat ditemui.


Ia menambahkan, pelanggaran hak cipta tidak bergantung pada ada-tidaknya tiket.


“Terlepas ada ticketing atau tidak, selama memutar Liga Inggris di zona komersial, unsur sengaja maupun tidak, itu sudah melanggar undang-undang,” tegasnya.


Menurut catatan IEG, saat ini ada sekitar 80–100 laporan polisi (LP) terkait pelanggaran hak siar di berbagai daerah Indonesia. 


Di Jawa Tengah, jumlahnya sekitar 10 kasus. Sebagian sudah selesai lewat jalur mediasi, sementara lima hingga enam kasus lain masih berproses.


“Pelaku usahanya macam-macam, ada UMKM, ada juga menengah ke atas. Kopi shop, bar, dan lainnya. Jadi bukan hanya usaha kecil yang kena. Semua lapisan bisa,” jelas Ebenezer.


Pihak IEG, kata Ebenezer, mengaku tetap mengedepankan edukasi dan sosialisasi. 


Namun, bila pelanggaran terus terjadi, langkah hukum tetap ditempuh. 


“Semangat kami bukan hanya penindakan, tapi juga anti pembajakan. Kalau tidak ada yang membeli lisensi, masyarakat Indonesia bisa-bisa tidak bisa lagi menonton Liga Inggris,” ujarnya.


Kasus yang menimpa Endang menjadi salah satu yang menarik perhatian publik, karena tayangan bola diputar saat acara halalbihalal keluarga tanpa penjualan tiket. 


Meski begitu, Ebenezer menegaskan hukum hak cipta tetap berlaku di ruang usaha.


“Ini jadi pembelajaran bahwa ada value bisnis di balik hak siar yang harus dihargai,” pungkasnya.(*)

Berita Terkini