Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Banyumas

Kisah Lansia Banyumas Bertahan Hidup dari Mengais Gabah yang Tersisa di Sawah: Buat Makan

Langkah Risah (67) terhenti di antara hamparan jerami yang mengering di bawah terik matahari Desa Pegalongan

Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG/Permata Putra Sejati
MENGAIS GABAH - Sejumlah warga yang beraktifitas mengais gabah sisa panen hamparan jerami yang mengering di sawah Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, Senin (8/9/2025). Warga memilah satu demi satu, berharap menemukan bulir gabah yang luput dari panen. 

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Langkah Risah (67) terhenti di antara hamparan jerami yang mengering di bawah terik matahari Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas


Tangan keriputnya perlahan mengusap keringat yang mengalir dari pelipis, lalu mulai mengais jerami dan gabah kering. 


Ia memilah satu demi satu, berharap menemukan bulir gabah yang luput dari panen.


Di atas tanah mengeras dan rerumputan yang meranggas, ia berjongkok, memungut satu-satu gabah tercecer dan meletakkannya dalam tumbu bambu. 


Risah bukanlah petani pemilik sawah, bukan pula buruh harian yang diberi upah tetap. 


Ia hanya pencari sisa panen pekerjaan sunyi yang dilakoninya sejak belasan tahun lalu.


"Lumayan buat makan, kadang dapat dua kilogram, kadang lima kilogram. 


Tapi ya, tergantung nasib," ucapnya pelan kepada Tribunbanyumas.com, sembari tersenyum lirih.


Setiap pagi pukul enam, ia telah bersiap. 


Dengan tampah dan tumbu, ia menunggu waktu yang pas saat petani selesai memanen, saat mesin pemotong padi meninggalkan jejak tumpukan jerami di pematang sawah. 


Di situlah ia mulai bergerak, bersama beberapa perempuan lain, mengais apa yang masih bisa diselamatkan.


Namun, seiring masuknya mesin panen modern, peluang itu semakin tipis. 


Mesin-mesin itu lebih efisien, meninggalkan lebih sedikit gabah tercecer. 


Artinya, pekerjaan Risah semakin tak pasti.


"Sekarang bersaing sama lima sampai enam orang juga. 


Kadang pulang cuma bawa dua kilo," katanya, Senin (8/9/2025). 


Gabah-gabah itu ia kumpulkan di rumah. 


Setelah cukup banyak, ia jemur di halaman, lalu, digiling menjadi beras. 


Bukan untuk dijual, melainkan untuk makan sehari-hari. 


Di rumah, Risah tinggal bersama satu anak dan dua cucu. 


Mereka semua menggantungkan dapur dari gabah-gabah sisa yang ia kumpulkan dengan tangan tuanya.


Ketika tak ada panen, Risah tak lantas beristirahat. 


Ia menjadi buruh tani di ladang orang. 


Terkadang mencangkul lahan, menanam singkong atau palawija. 


Tapi hasil dari menanam singkong pun harus menunggu enam bulan panen.


Dari lahan garapan 400 meter persegi, ia hanya mengantongi sekitar Rp200 ribu itulah hasil jual singkong dengan harga Rp 2.000 per kilogram di tingkat petani.


Apabila mencangkul lahan orang, ia menerima Rp60 ribu untuk lima jam kerja. 


Bila bekerja menanam padi dari pagi hingga sore, ia dibayar Rp100 ribu. 


Semua itu dikumpulkan dengan sabar dan peluh, demi menyambung hidup hari demi hari.


"Kalau orang lain bisa istirahat di umur segini, saya masih kerja. 


Tapi masih kuat kok. 


Lumayan buat tambah makan," katanya sambil mengusap ujung jilbab yang basah oleh keringat.


Ternyata Risah bukan satu-satunya. 


Warsilah, perempuan lansia lain dari desa berbeda, juga menjalani hidup yang sama. 


Setiap hari ia berjualan daun pisang di pasar, namun saat musim panen tiba, ia ikut turun ke sawah, dari masa tanam hingga memungut gabah tercecer.


"Saya orang tidak punya jadi harus usaha. 


Gabah ini nanti digiling, buat persediaan di rumah," ujarnya.


Warsilah tahu betul, dari 5 kilogram gabah kering, hanya sekitar 1 kilogram beras yang bisa didapat. 


Maka, ia harus mengumpulkan sebanyak-banyaknya, agar bisa cukup untuk beberapa hari makan. 


Itulah yang menjadi alasannya tetap ke sawah, meski kaki mulai rapuh dan pinggang mulai nyeri.


Fenomena ini bukan hal baru di Banyumas


Setiap musim panen tiba, di beberapa titik sawah, terutama di Patikraja, menjadi tempat ‘berburu’ bagi para perempuan lansia pencari sisa panen. 


Mereka datang dari desa-desa sekitar, bahkan desa lain.


Seorang pemilik sawah di kawasan tersebut, Darsono mengaku tidak keberatan. 


"Sudah biasa begitu. 


Mereka juga tidak ganggu kok. 


Malah kadang bantu bersihin jerami," ujarnya.


Di tengah geliat pembangunan dan teknologi pertanian modern, keberadaan para perempuan tua pencari gabah ini seperti potret yang tertinggal. 


Bagi Risah dan Warsilah, sisa panen bukan sekadar gabah yang jatuh dari karung atau tercecer oleh mesin. Itu adalah sisa-sisa harapan. (jti) 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved