Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Kudus

Guyang Cekathak, Tradisi Memandikan Pelana Kuda Sunan Muria Resmi Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Guyang cekathak telah resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional, sejak Jumat 10 Oktober 2025.

Penulis: Rifqi Gozali | Editor: raka f pujangga
TribunJateng.com/Saiful Ma'sum
Pengurus Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria membawa pelana kuda Sunan Muria untuk dimandikan di Sendang Rejoso dalam tradisi budaya Guyang Cekathak, Jumat (15/9/2023). 

TRIBUNJATENG.COM, KUDUS – Guyang cekathak telah resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional.

Tradisi yang digelar setiap tahun pada Jumat Wage saat musim kemarau di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus tersebut ditetapkan sejak Jumat 10 Oktober 2025.

Baca juga: Pemkab Jepara Temani Duta Besar Bosnia Sebagai Sikap Serius Masuk Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

“Iya penetapan berlaku sejak Jumat kemarin,” ujar Plh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Jatmiko Muhardi, Minggu (12/10/2025).

Jatmiko mengatakan, penetapan guyang cekathak sebagai WBTB berdasarkan putusan sidang penetapan oleh tim ahli warisan budaya tak benda di Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Baginya, penetapan ini sekaligus menjadi kado bagi Kabupaten Kudus yang baru saja merayakan hari jadi ke-476 pada September lalu.

Guyang cekathak merupakan tradisi yang masih lestari dan setiap tahun digelar di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.

Tradisi yang digelar di desa yang letaknya di lereng Gunung Muria tersebut dipercaya sudah ada sejak era Sunan Muria masih hidup saat terjadi musim kemarau dan warga kesulitan air.

Pengurus Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria bersama masyarakat Colo menggelar tradisi budaya Guyang Cekathak, Jumat (30/8/2024).
Pengurus Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria bersama masyarakat Colo menggelar tradisi budaya Guyang Cekathak, Jumat (30/8/2024). (TRIBUNJATENG/SAIFUL MA'SUM)

Guyang memiliki arti mengguyur, membasuh, atau memandikan. Sementara cekathak memiliki arti pelana kuda.

Menurut Jatmiko, pada masa lampau yang dimandikan yaitu kuda milik Sunan Muria. Namun berhubung kuda tersebut sudah mati, maka kini yang dimandikan yaitu pelana kudanya.

“Itu semua dilakukan dalam tradisi guyang cekathak sebagai simbol keberkahan,” kata Jatmiko.

Tradisi ini juga menjadi simbol pengharapan kepada Tuhan agar menurunkan hujan.

Baca juga: Tradisi Guyang Cekhatak Digelar Lagi, Ratusan Warga Selamatan 2 Menu Ini di Lereng Gunung Muria

Untuk itu tradisi tersebut masih dilakukan setiap tahun saat Jumat Wage musim kemarau dengan memandikan pelana kuda.

Dengan adanya penetapan tersebut, dia berharap agar warga Kudus senantiasa menjaga tradisi yang sudah berlangsung setiap tahun.

Dengan begitu warga di Kudus bisa semakin bangga dan ikut serta melestarikan tradisi yang ada di Kudus. (*)
 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved