Korupsi BPR Bank Jepara Artha
Dirut BPR Bank Jepara Artha dan 3 Pejabat Lain Pakai Uang Korupsi Kredit Fiktif untuk Umrah
Direktur Utama PT BPR Bank Jepara Artha (Perseroda) Jhendik Handoko dan tiga pejabat lainnya menjadi tersangka kasus kredit fiktif.
Penulis: Sof | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat Bank Jepara Artha (Perseroda) Jhendik Handoko dan tiga pejabat lainnya menjadi tersangka kasus kredit fiktif.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap, mereka menggunakan sejumlah uang dari realisasi kredit fiktif untuk umrah.
Tiga pejabat lainnya itu adalah Iwan Nursusetyo selaku Direktur Bisnis dan Operasional BPR Jepara Artha; Ahmad Nasir selaku Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan BPR Jepara Artha; dan Ariyanto Sulistiyono selaku Kepala Bagian Kredit BPR Jepara Artha.
Baca juga: Harga Kuota Haji Khusus dalam Kasus Dugaan Korupsi Kemenag, Ustad Khalid Basalamah Kembalikan Uang
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, Jhendik mendapatkan uang sebanyak Rp 2,6 miliar, Iwan Rp 793 juta, Nasir Rp 637 juta, dan Ariyanto Rp 282 juta.
“Uang umrah untuk JH, IN, dan AN sebesar Rp 300 juta,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Keempat pejabat ini menerima uang dan biaya umrah dari Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang (BMG) Mohammad Ibrahim Al’Asyari untuk realisasi kredit fiktif.
Asep mengatakan, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari kredit fiktif sebanyak Rp 254 miliar dari baki debit dan tunggakan bunga.
“Proses perhitungan kerugian keuangan negara sedang dilakukan oleh BPK-RI, diketahui nilai kerugian negara yang terjadi dalam perkara ini sekurang-kurangnya Rp 254 miliar,” ujarnya.
Tahan 5 tersangka termasuk Dirut BPR Jepara Artha
Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima tersangka, yakni Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat Bank Jepara Artha (Perseroda) Jhendik Handoko; Iwan Nursusetyo selaku Direktur Bisnis dan Operasional BPR Jepara Artha; Ahmad Nasir selaku Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan BPR Jepara Artha; dan Ariyanto Sulistiyono selaku Kepala Bagian Kredit BPR Jepara Artha.
Kemudian, KPK juga menetapkan Mohammad Ibrahim Al-Asyari selaku Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang sebagai tersangka.
Asep mengatakan, penetapan lima tersangka ini dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan kepada para saksi, ahli, penggeledahan di beberapa lokasi rumah/kantor, dan penyitaan barang, aset, serta uang.
“Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2025 sampai dengan 7 Oktober 2025. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” tuturnya.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
3 tersangka dijemput paksa di Semarang
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa tiga dari lima tersangka kasus kredit fiktif PT BPR Bank Jepara Artha di Kota Semarang pada Kamis (18/9/2025) pagi.
Penjemputan paksa ini dilakukan karena mereka tidak kooperatif.
Ketiganya tidak pernah datang memenuhi panggilan KPK.
Tiga tersangka yang dimaksud itu adalah Direktur Bisnis dan Operasional BPR Bank Jepara Artha Iwan Nursusetyo (IN).
Kemudian Kepala Divisi Bisnis, Literiasi, dan Inklusi Keuangan BPR Bank Jepara Artha Ahmad Nasir (AN), serta Kepala Bagian Kredit BPR Bank Jepara Artha, Ariyanto Sulistiyono (AS).
"Penyidik berangkat pada Rabu (17/9/2025) dan menjemput paksa pada Kamis (18/9/2025) di Semarang."
"Ketiga langsung dibawa ke Jakarta."
"Tiba di kantor KPK pada pukul 14.00," jelas Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, penetapan lima tersangka ini dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan kepada para saksi, ahli, penggeledahan di beberapa lokasi rumah atau kantor, serta penyitaan barang, aset, hingga uang.
“Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak 18 September hingga 7 Oktober 2025."
"Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” ujarnya.
Kronologi kasus
Asep mengatakan, kasus dugaan korupsi ini bermula pada 2021, saat Jhendik Handoko selaku Dirut BPR Bank Jepara Artha melakukan ekspansi pemberian kredit jenis Kredit Usaha dengan Sistem Sindikasi (pemberian kredit oleh beberapa bank kepada 1 debitur).
Namun selama 2 tahun terakhir terjadi penambahan outstanding kredit usaha kepada 2 grup debitur secara signifikan sekira Rp130 miliar yang dicairkan melalui 26 debitur yang terafiliasi.
Hal ini membuat performa atau kolektibilitas kredit tersebut memburuk sampai akhirnya gagal bayar atau macet, sehingga menurunkan kinerja BPR Bank Jepara Artha.
Ini dikarenakan pencadangan kerugian penurunan nilai hingga 100 persen (kolektibilitas macet) yang mengakibatkan rugi pada laporan laba rugi.
Sebagai jalan keluar, KPK mengatakan, Jhendik bersepakat dengan Ibrahim Al Asyari untuk mencairkan kredit fiktif.
KPK menyebutkan bahwa sebagian pencairan kredit ini digunakan oleh manajemen BPR Bank Jepara Artha untuk memperbaiki performa kredit macet dengan membayar angsuran.
Sementara itu, sebagian digunakan Ibrahim Al Asyari.
“Sebagai pengganti jumlah nominal kredit yang digunakan BPR Jepara Artha, Jhendik menjanjikan penggantian berupa penyerahan agunan kredit yang kreditnya dilunasi dengan menggunakan dana kredit fiktif kepada Ibrahim Al Asyari,” ujarnya.
Asep mengatakan, tindak lanjut dari kesepakatan itu, selama periode 2022-2023, BPR Bank Jepara Artha telah mencairkan 40 kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar kepada pihak yang identitasnya digunakan oleh Ibrahim.
“Kredit dicairkan tanpa dasar analisis yang sesuai kondisi debitur yang sebenarnya,” tuturnya.
Asep mengatakan, debitur berprofesi sebagai pedagang kecil, tukang, buruh, karyawan, ojek online, pengangguran yang dibuat seolah-olah layak mendapatkan kredit sebesar rata-rata sekira Rp7 miliar per debitur.
Dia mengatakan, Ibrahim dibantu rekannya mencari calon debitur yang mau dipinjam nama dengan dijanjikan fee rata-rata Rp100 juta per debitur.
“Juga untuk menyiapkan dokumen pendukung yang diperlukan BPR Bank Jepara Artha berupa perizinan, rekening koran fiktif, foto usaha milik orang lain, hingga dokumen keuangan yang dimark up."
"Ini agar mencukupi dan seolah-olah layak dalam analisis berkas kredit BPR Bank Jepara Artha,” kata dia.
Asep mengatakan, terhadap realisasi kredit fiktif tersebut, Ibrahim memberikan sejumlah uang kepada tersangka di BPR Bank Jepara Artha.
“JH sebesar Rp2,6 miliar, IN Rp 793 juta, AN Rp 637 juta, AS Rp 282 juta, dan uang umrah kepada keempatnya sebesar Rp300 juta,” kata dia.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ini sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dirut BPR Jepara Artha Dkk Berangkat Umrah Pakai Uang Korupsi Kredit Fiktif"
Baca juga: 3 Tersangka Kasus Korupsi Kredit Macet Sritex Ditahan di Rutan Semarang
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.