Opini
Bendera Merah di Menara Gading: Saat Plagiarisme Menggerogoti Jantung Pendidikan
Berikut opini Mohammad Alfian, Ketua Program Studi Sarjana Terapan Akuntansi Sektor Publik Universitas Harkat Negeri.
Oleh: Mohammad Alfian, Ketua Program Studi Sarjana Terapan Akuntansi Sektor Publik Universitas Harkat Negeri
KAMPUS, dalam benak kita, adalah menara gading. Sebuah pusat keunggulan, tempat lahirnya ilmu pengetahuan, dan benteng terakhir penjaga integritas intelektual. Dari sanalah kita berharap para pemikir, inovator, dan pemimpin masa depan ditempa. Namun, sebuah "bendera merah" kini berkibar semakin kencang di banyak menara gading kita, sebuah tanda bahaya yang sering kali diabaikan: praktik plagiarisme yang merajalela.
Ini bukan isapan jempol belaka. Merujuk pada halaman resminya, penelitian Integrity Risk Index (RI2) mengenai laporan integritas penelitian (Research Integrity) yang dikemukakan oleh Prof Lokman dari University of Beirut baru-baru ini menempatkan 13 perguruan tinggi ternama di Indonesia dalam zona risiko, mulai dari "Watch List" hingga "Red Flag" atau risiko tertinggi.
Beberapa di antaranya adalah nama-nama besar seperti Universitas Bina Nusantara (BINUS), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Universitas Sebelas Maret (UNS) yang masuk dalam kategori Red Flag. Fakta ini menampar kita, bahwa masalah integritas akademik sudah menjadi isu serius bahkan di level institusi yang kita banggakan.
Ironisnya, di tempat di mana orisinalitas gagasan seharusnya dijunjung setinggi langit, praktik "salin-tempel" atau pencurian ide justru tumbuh subur. Ini bukan lagi sekadar kenakalan mahasiswa yang malas mengerjakan tugas. Plagiarisme telah bermutasi menjadi kanker sistemik yang menggerogoti kualitas pendidikan dari akarnya. Ketika mahasiswa terbiasa menjiplak tugas akhir, ketika dosen mempublikasikan karya tanpa sitasi yang layak, dan ketika institusi seolah menutup mata, kita sedang menyaksikan proses pembusukan intelektual secara massal.
Baca juga: Rektor Universitas Harkat Negeri Sudirman Said: Guru Bukan Beban, Tapi Aset Bangsa
Fenomena ini diperparah oleh dua gejala turunan yang tak kalah membahayakan. Pertama, lahirnya karya-karya penelitian "abal-abal". Skripsi, tesis, atau disertasi yang seharusnya menjadi puncak pencapaian akademis, kini banyak yang dibuat hanya untuk memenuhi syarat kelulusan. Kedalaman analisis digantikan oleh tumpukan kutipan yang tidak relevan, dan kebaruan gagasan dikalahkan oleh kompilasi karya orang lain tanpa sintesis yang berarti. Hasilnya? Lulusan yang memegang gelar, namun hampa kompetensi. Mereka tidak terlatih untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, atau berinovasi secara mandiri.
Kedua, maraknya "jurnal predator". Ini adalah sisi gelap dari tuntutan publikasi ilmiah yang begitu tinggi. Jurnal-jurnal ini menawarkan jalan pintas bagi para akademisi untuk mempublikasikan penelitian mereka dengan proses penelaahan (review) yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali, asalkan membayar sejumlah uang. Mereka memangsa para akademisi yang terdesak oleh target, dan pada akhirnya, mencemari ekosistem pengetahuan global dengan hasil penelitian yang tidak terverifikasi dan berpotensi menyesatkan. Ketika penelitian berkualitas rendah ini dipublikasikan dan kemudian disitasi oleh orang lain, terciptalah lingkaran setan kebohongan ilmiah.
Bahayanya jelas. Plagiarisme dan budaya instan di dunia akademik secara langsung membunuh tujuan utama pendidikan: membentuk manusia yang berintegritas, berdaya nalar, dan mampu menciptakan nilai baru. Jika pusat ilmu pengetahuan itu sendiri rapuh dan penuh kepalsuan, produk seperti apa yang akan dihasilkannya untuk masyarakat? Kita akan menciptakan generasi profesional yang terbiasa dengan jalan pintas, pemimpin yang tidak menghargai proses, dan masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada sains dan kaum intelektualnya.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Ini adalah tanggung jawab kolektif. Bagi Institusi Pendidikan, sudah saatnya berhenti menjadikan kuantitas publikasi sebagai satu-satunya dewa. Kebijakan harus bergeser untuk lebih menghargai kualitas dan dampak penelitian. Sanksi terhadap pelaku plagiarisme, baik mahasiswa maupun dosen, harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Penggunaan perangkat lunak deteksi plagiarisme harus menjadi prosedur standar yang tak bisa ditawar, bukan sekadar formalitas.
Baca juga: Universitas Harkat Negeri Perkuat Kerja Sama dengan Bank Indonesia Tegal
Bagi Pendidik (Dosen), tugas mereka bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai. Menjadi teladan dalam menjunjung tinggi integritas akademik dan membimbing mahasiswa tentang etika sitasi adalah kewajiban mutlak. Beban tugas yang tidak realistis yang mendorong mahasiswa mencari jalan pintas juga perlu dievaluasi.
Bagi Mahasiswa, kesadaran harus ditumbuhkan bahwa gelar tanpa kompetensi adalah kehampaan. Kebanggaan atas karya orisinal harus dipupuk, dan pemahaman bahwa proses belajar yang jujur jauh lebih berharga daripada nilai di atas kertas harus menjadi prinsip.
Bendera merah ini sudah terlalu lama berkibar. Sebelum menara gading kita runtuh karena fondasinya yang keropos, semua pihak harus bergerak serentak. Memadamkan api plagiarisme berarti menyelamatkan masa depan kualitas sumber daya manusia dan marwah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan berpengetahuan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.