Opini
Pelari Kalcer: Tinjauan Untung Rugi dari Perspektif Keuangan
Berikut opini Imam Hasan, Dosen D-3 Akuntansi, Universitas Harkat Negeri, tentang pelari kalcer.
Oleh: Imam Hasan, Dosen D-3 Akuntansi, Universitas Harkat Negeri
FENOMENA pelari kalcer, yakni mereka yang menjadikan aktivitas lari bukan hanya sebagai olahraga, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup, bahkan simbol status sosial kian menjamur di berbagai sudut kota. Dari pusat kota hingga jalur perumahan, kita mudah menjumpai individu atau komunitas lari yang tampil serba fashionable, lengkap dari sepatu olahraga kelas premium, baju lari edisi terbatas, hingga smartwatch dengan fitur pelacak kalori dan detak jantung. Tak jarang penampilan mereka mengungguli atlet profesional, meski hanya berlari santai di taman.
Pertanyaannya: apakah semua ini demi kesehatan? Atau semata-mata karena FOMO alias fear of missing out? Jika ditelaah dari perspektif jangka pendek, perilaku ini memang lebih dekat dengan dorongan untuk terlihat relevan dan mengikuti tren. Media sosial menjadi katalis utamanya: unggahan foto lari pagi, pamer sepatu baru, hingga jumlah kilometer yang ditempuh menjadi bentuk validasi sosial yang dikemas rapi.
Namun, saya melihat peluang untuk meninjau fenomena ini lebih dalam, melalui lensa untung rugi keuangan, baik dari sisi individu maupun dampak jangka panjang. Mari kita anggap segala perlengkapan dan pengeluaran gaya hidup ini sebagai premi atas investasi kesehatan.
Sama seperti membayar asuransi, membeli perlengkapan lari bisa menjadi langkah preventif untuk menjaga kebugaran. Dalam jangka panjang, gaya hidup aktif seperti ini berkontribusi langsung terhadap penurunan biaya kesehatan pribadi, serta meningkatkan produktivitas kerja.
Baca juga: Sinergi Wujudkan Teaching Factory, Universitas Harkat Negeri Gandeng Krakatau Steel
Tubuh yang sehat mendorong performa yang baik, dan pada akhirnya menciptakan nilai tambah bagi individu maupun institusi tempat ia bekerja. Dari sudut akuntansi keperilakuan, keputusan finansial seseorang tidak hanya dinilai dari logika angka, tetapi juga dari faktor psikologis, budaya, dan motivasi. Pelari kalcer bisa jadi sedang
memposisikan dirinya dalam investasi jangka panjang: berani membayar mahal di awal demi hasil jangka panjang berupa kesehatan prima, kestabilan emosi, serta penghematan biaya medis di masa depan.
Tentu saja, tidak semua pelari kalcer berpikir demikian. Sebagian mungkin hanya ikut-ikutan tren tanpa komitmen pada kebugaran itu sendiri. Di sinilah letak pembeda antara investasi kesehatan yang berkelanjutan dan perilaku konsumtif yang hanya bersifat sesaat.
Kesimpulannya, pelari kalcer bisa menjadi bentuk pengeluaran yang bernilai, selama dijalani dengan kesadaran, konsistensi, dan tujuan jangka panjang. Jika hanya sekadar pamer gaya hidup di media sosial, tentu itu menjadi beban konsumtif. Tapi jika dijadikan bagian dari gaya hidup sehat berkelanjutan, maka ia adalah aset, yang secara tidak langsung, menyumbang keuntungan produktivitas dan efisiensi biaya dalam sistem ekonomi mikro maupun makro. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.