Readers Note
Mengukur Keberhasilan Program Anti-Perundungan di Sekolah
Mungkin ada juga anak yang terpaksa bolos sekolah atau bahkan mengurung diri di toilet sekolah untuk menghindari perundungan yang ada di lingkungan
Mengukur Keberhasilan Program Anti-Perundungan di Sekolah
Oleh Rani Nur Anekasari, S.Psi | Mahasiswa Magister Psikologi Unika Soegijapranata
BANYAK pelajar datang ke sekolah merasa cemas, khawatir dan takut. Emosi ini dirasakan bukan karena tugas sekolah yang belum dikerjakan, ataupun akan hadapi ujian mata pelajaran, melainkan takut pada perundungan yang mungkin telah lama dihadapinya.
Mungkin ada juga anak yang terpaksa bolos sekolah atau bahkan mengurung diri di toilet sekolah untuk menghindari perundungan yang ada di lingkungan sekolah.Ya! Kasus perundungan atau bullying dalam dunia pendidikan saat ini menjadi masalah yang serius secara global.
Peristiwa terbaru, siswa di sekolah di Blora menjadi korban perundungan oleh teman-temannya. Akibatnya, si anak enggan berangkat ke sekolah karena ketakutan dan mengalami luka fisik. Hasil penyelidikan oleh kepolisian dan sekolah, akhirnya empat siswa disuruh pindah ke sekolah lain.
Berdasarkan data dari organisasi dunia UNICEF (United Nations Children’s Fund) pada tahun 2025, tercatat presentase siswa yang berusia 13-15 tahun dilaporkan pernah menjadi korban atau pernah mengalami perundungan. Setidaknya satu hari dalam sebulan.
Sedangkan UNICEF Indonesia (2020) melaporkan bahwa prevalensi perundungan yang terjadi di Indonesia sebesar 41 persen yang korbannya adalah pelajar berusia 15 tahun yang mana presentase korban laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan bahwa kasus perundungan di Indonesia sendiri meningkat secara drastis, dimana pada tahun 2020 sebanyak 119 peristiwa, kemudian tahun 2021 sebanyak 53 peristiwa, tahun 2022 terdapat 266 peristiwa, dan data terakhir pada tahun 2023 meningkat secara drastis sebanyak 1.478 peristiwa yang dilaporkan.
Sedangkan pada Januari-Juli 2024, FGSI melaporkan sebanyak 15 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan yang masuk dalam kategori berat dan ditangani oleh kepolisian. Pelaku kekerasan fisik mayoritas peserta didik, baik teman sebaya maupun kakak senior dan menimbulkan 5 korban meninggal dunia.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan tren kekerasan di lingkungan pendidikan terus mengalami peningkatan, dengan 573 kasus tercatat pada tahun 2024, yang mana tahun 2023 terdapat 285 kasus. Meskipun data tahun 2025 belum final, namun sepanjang tahun tak terhitung berapa banyak berita terkait tindak perundungan di lingkungan pendidikan.
Tindakan Intimidasi
Perundungan atau bullying merupakan tindakan intimidasi yang biasanya dilakukan kepada orang yang dianggap lemah (Coloroso, 2007). Adanya kelompok pertemanan atau biasa disebut geng menjadi salah satu faktor utama terjadinya perundungan, karena pelaku perundungan seringkali berkelompok. Perilaku ini dilakukan secara sengaja dan berulang kali karena ada rasa ingin menunjukkan pada teman-teman sebaya lainnya bahwa pelaku memiliki kekuatan dan juga kekuasaan.
Coloroso (2007) juga membedakan macam-macam jenis bullying, yaitu; (1) fisik, yaitu seperti menendang, memukul, mencubit, merusak barang, dsb; (2) verbal atau secara lisan, seperti menghina, memberi julukan nama, dan pernyatan-pernyatan yang membuat orang lain tertekan; (3) relasional atau sosial, seperti mengucilkan, mengabaikan, membuat rumor; (4) dan yang terakhir adalah cyberbullying dimana perilaku perundungan dilakukan melalui sarana elektronik, seperti media sosial atau handphone dengan menggunakan gambar, tulisan atau video untuk mengintimidasi, menyakiti atau bahkan mempermalukan korban.
Seiring berjalan waktu, korban perundungan akan memiliki dampak baik secara fisik seperti cedera, maupun psikologis seperti cemas, depresi hingga bunuh diri. Hal ini juga dibuktikan dengan berita yang beredar baik di media sosial ataupun media televisi yang mana banyak korban perundungan melakukan tindakan bunuh diri yang bahkan di lakukan di lingkungan sekolah. Berdasarkan data dari KPAI hingga awal 2024 terdapat 46 kasus anak mengakhiri hidup, 48 % di antaranya terjadi pada satuan pendidikan atau anak korban masih memakai pakaian sekolah.
Hal ini menunjukkan bahwa perundungan dalam ruang lingkup pendidikan menjadi hal yang harus segera diatasi. Banyak sekolah telah menerapkan Program Anti Perundungan. Penerapan program ini sebagian besar mampu menurunkan perilaku perundungan dan meningkatkan empati siswa.
Program ini dapat mendorong pemahaman siswa dalam komunitas untuk meningkatkan kesadaran diri tanpa harus mendikte atau memberikan peringatan kepada siswa lain untuk menghentikan intimidasi (Cahyani & Widodo. 2022).
Perlu bagi sekolah untuk merancang serta menerapkan sistem untuk menangani tindakan perundungan, seperti membuat tata aturan yang jelas yang disepakati oleh semua warga sekolah dan juga bagaimana memberikan sanksi yang nyata bagi pelaku.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/Rani-Nur-Anekasari.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.