Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Alasan KGPA Tedjowulan Nyatakan Diri sebagai Plt Raja Keraton Surakarta, Ketegangan Lama Muncul?

Kangjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, menyatakan dirinya sebagai pelaksana tugas (Plt) Raja Keraton Kasunanan Surakarta

Penulis: Msi | Editor: muslimah
KOMPAS.COM/Pemkot Solo
Maha Menteri Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kangjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan. 
Ringkasan Berita:
  • Saat ditanya mengenai proses suksesi pasca wafatnya PB XIII, Tedjowulan menanggapi dengan santai namun tegas.
  • Ia menyatakan bahwa siapa pun boleh berpendapat, namun semua harus mengacu pada dasar hukum yang jelas.
  • Namun Kementerian Dalam Negeri punya dasar. 

 

TRIBUNJATENG.COM - Maha Menteri Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kangjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, menyatakan dirinya sebagai pelaksana tugas (Plt) Raja Keraton Kasunanan Surakarta.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara KGPA Tedjowulan, Bambang Ary Wibowo.

Ia menjelaskan, bahwa penunjukan itu dilakukan menyusul mangkatnya Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) XIII, pada Minggu (2/11/2025).

Penunjukan Tedjowulan sebagai Plt diklaim berlandaskan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 430 Tahun 2017 tentang Penetapan Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.

Baca juga: Bupati Banyumas Bicara Pengelolaan Baturraden: Saya Mengadopsi Solo Zaman Gibran

 Sosok Tedjowulan: Mahamenteri dan Mantan Raja Kembar

Tedjowulan merupakan salah satu putra (laki-laki kelima) dari Pakubuwono XII dan adik dari PB XIII.

Nama kecilnya adalah Soerjo Soetedjo (Suryo Sutejo).

Ia lahir pada 3 Agustus 1954, sekarang berusia 71 tahun.

Dalam kariernya, Tedjowulan adalah pensiunan tentara.

Terakhir ia berpangkat Kolonel di bidang Infanteri (TNI AD).

Ia sempat menempuh dinas di Kodam Siliwangi dan Mabes TNI Jakarta. 

Tedjowulan menjabat sebagai Mahamenteri Keraton, posisi administratif tertinggi kedua setelah raja, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 430-2933 Tahun 2017. 

Dalam kapasitasnya, Tedjowulan mendampingi PB XIII dalam pengelolaan keraton dan menjadi juru bicara utama dalam berbagai urusan adat dan pemerintahan.

Namun, nama Tedjowulan tak lepas dari kontroversi.

Pasca wafatnya PB XII pada 11 Juni 2004, terjadi dualisme klaim takhta antara Tedjowulan dan KGPH Hangabehi.

Keduanya sempat sama-sama dinobatkan sebagai Pakubuwono XIII oleh kelompok pendukung masing-masing, menciptakan fenomena “raja kembar” yang membelah Keraton Solo selama lebih dari delapan tahun (hingga 2012). 

Konflik ini baru mereda setelah pemerintah secara resmi mengakui KGPH Hangabehi sebagai PB XIII, sementara Tedjowulan menerima posisi Mahamenteri.

Kontroversi Lama Mengemuka Kembali

Wafatnya PB XIII kembali memunculkan ketegangan lama.

Mengutip TribunSolo.com, Tedjowulan memutuskan untuk tidak turut serta dalam prosesi adat pemakaman mendiang kakaknya, Pakubuwono XIII, yang digelar di dalam kompleks keraton.

Sebagai gantinya, ia memilih menunggu di Loji Gandrung, tempat persemayaman terakhir jenazah sebelum diberangkatkan ke Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Keputusan Tedjowulan untuk mengantar jenazah dari Loji Gandrung bukan tanpa alasan.

Ia menegaskan bahwa sebagai pejabat tertinggi kedua di lingkungan keraton setelah raja, kehadirannya di titik awal pemberangkatan jenazah merupakan bentuk penghormatan sekaligus tanggung jawab simbolik.

Saat ditanya mengenai proses suksesi pasca wafatnya PB XIII, Tedjowulan menanggapi dengan santai namun tegas.

Ia menyatakan bahwa siapa pun boleh berpendapat, namun semua harus mengacu pada dasar hukum yang jelas.

“Kementerian Dalam Negeri punya dasar. Nanti biar mereka yang menjelaskan,” ujarnya.

Tedjowulan berharap proses penentuan raja selanjutnya dapat berlangsung damai dan tidak menimbulkan perpecahan. Ia menekankan pentingnya menjaga harmoni di tengah suasana duka.

“Saya tidak pernah bicara ke mana-mana, karena saya ingin menjaga kerukunan,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa jika terjadi kekisruhan dalam proses suksesi, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengambil alih pengelolaan keraton sesuai peraturan yang berlaku.

Oleh karena itu, keberadaannya di Loji Gandrung, bukan di keraton, merupakan langkah strategis untuk mencegah potensi konflik dan menjalin koordinasi dengan pemerintah pusat maupun daerah.

“Kalau terus ribut, bisa diambil alih pemerintah. Saya hadir di sini untuk menjaga ketertiban dan menjembatani komunikasi dengan pemerintah,” tutup Tedjowulan.

Ambil Alih Keraton Solo

Artikel TribunSolo.com lainnya menuliskan, Tedjowulan, menyatakan dirinya mengambil peran sebagai pelaksana tugas (ad interim) menggantikan posisi mendiang Pakubuwono XIII yang telah wafat.

Melalui juru bicaranya, KP Bambang Pradotonagoro, dijelaskan penunjukan pelaksana tugas semacam ini bukan hal baru dalam sejarah Keraton Surakarta.

Bambang menuturkan bahwa dalam masa transisi kepemimpinan terdahulu, peran serupa pernah dijalankan oleh Pakubuwono VII dan VIII sebelum tahta secara resmi dipegang oleh Pakubuwono IX.

Dalam pertemuan pada Rabu (5/11/2025), Tedjowulan juga membuka kemungkinan munculnya kandidat lain sebagai penerus tahta, menandakan bahwa proses suksesi belum final.

Bambang menegaskan, Tedjowulan tidak menjabat sebagai raja secara definitif, melainkan hanya menjalankan fungsi administratif sebagai pelaksana tugas.

Penegasan tersebut merujuk pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 430-2933 Tahun 2017, yang menetapkan struktur pengelolaan Keraton Surakarta.

Dalam klausul kelima disebutkan bahwa kepemimpinan berada di tangan ISKS Pakubuwono XIII, didampingi oleh Maha Menteri Kanjeng Gusti Panembahan Agung Tedjowulan, dengan koordinasi bersama pemerintah pusat, Pemprov Jawa Tengah, dan Pemkot Surakarta.

“Beliau sebagai caretaker, bukan sebagai raja. Panembahan Agung Tedjowulan hanya sebagai pelaksana tugas dari Keraton Kasunanan Surakarta berdasarkan SK Mendagri,” tegas Bambang.

Menanggapi pernyataan KGPAA Hamangkunegoro yang menyebut dirinya telah berdiri sebagai Pakubuwono XIV di hadapan jenazah ayahnya sebelum diberangkatkan, Bambang menyebut hal itu terlalu dini dan belum melalui pembicaraan dengan seluruh keluarga besar.

“Terkait sah dan tidaknya belum ada pembicaraan dengan keluarga besar yang lain. Seperti halnya peristiwa tahun 2004, 50 hari baru dibicarakan. Harapannya seperti itu. Kenapa sih harus buru-buru? Apa yang dikejar,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa belum pernah ada preseden dalam sejarah keraton di mana pergantian raja dilakukan seketika setelah raja sebelumnya wafat. “Belum ada. Ini baru pertama kali terjadi. Belum pernah ada sinuhun surut langsung ada penggantinya,” tutup Bambang.

(Tribunnews.com)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved