Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Lebaran 2017

Kupat Kapit

Kupat Kapit. Ketupat bukan makanan biasa. Butuh kesabaran membikinnya. Lebih dulu mengayam daun kelapa muda (janur).

Penulis: sujarwo | Editor: iswidodo
tribunjateng/Rifqi Gozali
SEWU KUPAT di Colo Kudus 

TRIBUNJATENG.COM - Ketupat bukan makanan biasa. Butuh kesabaran membikinnya. Lebih dulu mengayam daun kelapa muda (janur). Selesai dianyam, ketupat diisi beras lalu dimasak. Beras harus berkualitas, yang pulen. Merebusnya pun selama 4 hingga 5 jam agar tak mudah basi.

Sunan Kalijaga lah yang memperkenalkan ketupat kepada masyarakat Jawa. “Sunan Kalijaga, sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16, menjadikan ketupat sebagai budaya sekaligus filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai ke-Islaman," kata sejarawan kuliner, Fadly Rahman, seperti dikutip KompasTravel, Sabtu (24/6/2017).

Sunan Kalijaga membudayakan Bakda Kupat yang dimulai sepekan sesudah Lebaran. Saat itu hampir di setiap rumah terlihat orang menganyam ketupat.

Kupat akronim dari ngaku lepat (mengakui kesalahan). Sunan juga memfilosofikan kupat dengan perlambang Laku Papat (empat tindakan). Pertama mencerminkan beragam kesalahan seperti terlihat dari rumitnya anyaman kupat, Kedua kesucian hati, bahwa setelah ketupat dibuka, akan terlihat nasi putih yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan. Ketiga, bentuk ketupat yang sempurna dihubungkan sebagai kemenangan setelah sebulan lamanya berpuasa, dan akhirnya merayakan Idulfitri.

SUJARWO wartawan Tribun Jateng
SUJARWO wartawan Tribun Jateng (TRIBUNJATENG/CETAK/BRAM)

Keempat simbol permohonan maaf, karena ketupat biasanya dihidangkan dengan lauk yang bersantan. Ada pantun Jawa yang disebut “kupa santen“. Artinya ’Kulo lepat nyuwun ngapunten (saya salah mohon maaf).

Di Malaysia ada makanan mirip ketupat, namanya nasi kapit atau himpit. Disebut demikian karena dbuat dari nasi yang ditekan di dalam bekas sehingga membentuk ketulan besar yang akhitnya mirip ketupat nasi.

Lain Malaysia, lain pula Indonesia. Nasi kapit tak mengandung filosofi sedalam ketupat, Ketupat sekaligus sebagai simbol penegasan bahwa rakyat negeri ini adalah pemaaf. Dari ketupat pula bak simbol NKRI lahir setelah melalui proses panjang, penuh liku, rumit, yang kemudian teranyam rapi berisi filosofi warisan leluhur yang dimasak matang hingga menjadi Pancasila.

Cobaan nyaris terpecah dialami negeri ini sejak berusia baru satu tahun. Terjadi perselisihan antara kelompok Persatuan Perjuangan dan pemerintah parlementer (masa Kabinet Sjahrir). Akhirnya meledak Peristiwa 3 Juli 1946 yang disebut-sebut sebagai percobaan kudeta pertama.

Dua tahun kemudian, 1948, situasi politik tak kunjung kondusif. Para elite politik tak mau bersatu, merasa paling benar satu sama lain. Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Pertengahan Ramadan, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana untuk meminta pendapat. KH Wahab menyarankan Bung Karno agar menggelar acara silaturahim antarelite politik, yang kemudian lahir istilah Halal Bi Halal.

Namun, cobaan itu terus berlanjut. Tahun 2017 pun bangsa Indonesia masih sibuk dengan sosialisasi menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila. Utamanya setelah berbagai aksi unjuk rasa di Ibukota, menyusul kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Toh, hingga detik ini rakyat tak bercerai berai. NKRI tetap utuh bak ketupat. Para elite poltik memang layak senantiasa ingat ketupat. Jika mereka terus berselisih tanpa berakhir saling memaafkan, kemudian ekonomi negeri ini tak kunjung membaik, rakyat kecil lah yang paling terhimpit. Bak cecak terjepit pintu, tinggal terlihat ekornya yang kupat kapit, tak berdaya. (tribunjateng/cetak/sujarwo)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved