Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Mengenang Peredaran Candu Tempo Dulu di Semarang dan Sejarah Peredaraannya

Pakter madat atau candu adalah pemegang lisensi izin perdagangan candu, yang sekaligus pengelola perdagangan candu

Tropenmuseum
Pemadat di Jawa, sekitar 1870. 

Kendati dia tak fasih bahasa Belanda dan Inggris, tampaknya Oie Tiong Ham menjadi orang terkaya di Hindia Belanda. Dia sohor seantero Asia, Australia, Amerika, hingga Eropa.

Belakangan, orang-orang menjulukinya sebagai Raja Gula dari Semarang, meskipun sebagian dari kekayaan itu diperoleh dari kesuksesan perniagan candunya.

Namun, sebelum bisnis gulanya sohor mendunia, tampaknya Oie juga telah merintis niaga candu.

Pada 1887, Oei meluaskan bisnis candunya dari Semarang ke Kudus hingga Mayong, seiring perluasan jangkauan rel kereta api.

Pernyataan itu diungkap Liem Tjwan Ling dalam bukunya Raja Gula Oei Tiong Ham yang terbit di Surabaya pada 1979.  

Putri kedua Oei Tiong Ham dari istri pertamanya, Oei Hui Lan atau yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo (1889-1992) berkisah tentang tukang pijit keluarganya yang juga pemadat sejati.

"Seorang perempuan Cina tua yang sudah keriput dan kecanduan opium,” ungkap Hui Lan mengenang masa gadisnya. “Tukang pijat itu jelek, tetapi suaminya yang sudah tua renta lebih jelek lagi.”

Perempuan itu mengungkapkan dalam tulisannya berjudul “Reminiscences” atau “Kenang-kenangan” yang menjadi bagian buku Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia.

Buku itu disunting oleh Yoshihara Kunio dan diterbitkan oleh The Center for Southeast Asia Studies Kyoto University pada 1989. Edisi buku itu dalam bahasa Indonesia terbit dua tahun kemudian.

“Setelah enam sedotan dia menjadi seonggok tulang yang memelas," tulis Oei Hui Lan. "Kaki dan tangannya menjadi dingin, kulit kisutnya menjadi mengerut, matanya terbuka tetapi tak melihat.”

Hui Lan menceritakan bagaimana tukang pijit keluarganya itu meracik candu. Cuilan candu itu diambil sedikit, dan dimasukkan ke dalam canting kecil, lalu diaduk hingga menghasilkan cairan lengket.

Selepas itu cairan dalam canting dibakar di atas lampu api kecil, hingga mencapai tingkat kekentalan tertentu.

“Candu merupakan barang yang mahal karena itu dinikmati setiap sedotan [...],” tulis Hui Lan. “Setelah enam sedotan dia menjadi seonggok tulang yang memelas. Kaki dan tangannya menjadi dingin, kulit kisutnya menjadi mengerut, matanya terbuka tetapi tak melihat.”

Celakanya, suami si nenek kisut itu juga seorang pemadat. Ketika suami si nenek sedang ketagihan.

Demi lelaki tua itu, Hui Lan mengendap-endap untuk mengambil stoples candu di kantor ayahnya.

Halaman
1234
Sumber: Bangka Pos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved