Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Mengenang Peredaran Candu Tempo Dulu di Semarang dan Sejarah Peredaraannya

Pakter madat atau candu adalah pemegang lisensi izin perdagangan candu, yang sekaligus pengelola perdagangan candu

Tropenmuseum
Pemadat di Jawa, sekitar 1870. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dia adalah konglomerat fenomenal, sohor dengan julukan 'Raja Gula dari Semarang'.

Namun, jarang orang yang mengenangnya sebagai Raja Candu Terakhir di Semarang.

“Di antara pachter-pachter madat yang terakhir, hanya Tuan Oei Tiong Ham yang paling beruntung bisa mendapatkan keuntungan dalam perdagangan madat itu,” ungkap Liem Thian Joe, jurnalis kawakan kelahiran Parakan, Jawa Tengah.

Liem Thian Joe (1895-1963) menulis ungkapan itu dalam bukunya yang menjadi penanda permulaan abad yang silam, Riwajat Semarang : dari djamannja Sam Po sampe terhapoesnja Kongkoan.

Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Ho Kim Yoe di Semarang pada 1933.  “Penduduk pribumi yang paling banyak menghisap madat ialah di residentie Surakarta, Yogyakarta dan Kediri,” tulisnya. “Keadaan ini berlangsung sampai sekarang, tidak berubah!” 

Pakter madat atau candu adalah pemegang lisensi izin perdagangan candu, yang sekaligus pengelola perdagangan candu, dan membayar sewa setiap tahunnya kepada pemerintah Hindia Belanda.

Sejarah pakter bermula pada pemerintahan Raffles 1811-1816. Tatkala itu berbagai pengelolaan gerbang tol dan pasar wilayah kerajaan diambilalih oleh pemerintah Inggris, sementara orang-orang China menjadi bandar yang statusnya penyewa usaha.

Pada tahun-tahun berikutnya, celah kebijakan itu melahirkan laju perkembangan kilat dalam perniagaan candu ketengan.

Para penghisap candu menempatkan barang nikmat yang hanya secuil itu di dalam kotak kecil dari kayu atau logam.

Sementara, para pedagang candu membungkusnya dengan daun bambu, konon daun itu tidak akan merusak khasiatnya.

Pemerintah Hindia Belanda memberikan lisensi niaga candu kepada orang-orang Cina di Jawa sejak beberapa tahun sebelum Perang Jawa berkobar.

Oei Tiong Ham bukanlah orang yang hidup dimasa awal masuknya candu ke Jawa. Dia baru lahir di Semarang pada November 1866, anak dari seorang ayah singkeh Oei Tjie Sien.

Saat krisis perniagaan candu melanda pada akhir 1880-an, hanya empat dari 19 pakter candu yang bertahan. Oei Tiong Ham pun melihat celah untuk memasuki bisnis ini.

Menurut Liem, sederet pakter terdahulu pada awalnya mendapat keuntungan, namun pada akhirnya jatuh bangkrut. “Tetapi, Tuan Oei Tiong Ham sebaliknya mendapat keuntungan besar...”

Kira-kira keuntungan bersih Oei dalam bisnis candu selama 13 tahun itu sejumlah Rp1,2 triliun, atau sekitar Rp92 milyar setiap tahunnya!

Halaman
1234
Sumber: Bangka Pos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved