Arif Sambodo Ingin Pelaku Bisnis Melek Ketentuan Trade Remedies
Tren perkembangan penggunaan instrumen trade remedies (anti dumping, anti subsidi, dan safeguard), saat ini semakin meningkat pesat.
Penulis: Desta Leila Kartika | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Tren perkembangan penggunaan instrumen trade remedies (anti dumping, anti subsidi, dan safeguard), saat ini semakin meningkat pesat.
Perkembangan tersebut, dari 137 kasus pada tahun 2012 menjadi 238 kasus di tahun 2018 atau naik 73,72%.
Menanggapi hal tersebut, Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan perdagangan Provinsi Jateng, menyelenggarakan kegiatan bimbingan teknis bertemakan "Intensifikasi Penggunaan Instrumen Trade Remedies oleh Negara Mitra Dagang."
Berlokasi di PO Hotel Semarang, Kamis (29/8/2019).
Tujuan dari kegiatan ini, menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, Muhammad Arif Sambodo, untuk mencetak para pelaku bisnis yang "melek" terhadap ketentuan trade remedies dan perkembangannya.
"Kegiatan bimbingan teknis ini tentu sangat bermanfaat, karena diberitahu mengenai bagaimana menghadapi dan menyikapi kendala ketika produk ada pembatas saat masuk ke suatu wilayah.
Maka bagi pelaku usaha yang mengalami kendala harus memberikan informasi, dan ini yang harus di pupuk," tutur Arif Sambodo, pada Tribunjateng.com, Kamis (29/8/2019).
• Operasi Patuh 2019, Kapolres Karanganyar : Ojol yang Berkendara Sambil Operasikan HP Akan Ditilang
• Pemkot Pekalongan Siapkan Rp 2 Miliar Bangun Rumah Santun Lansia
• I Nyoman Adi Rimbawan, Terdakwa Kasus Rudapaksa Tertawa Lepas Setelah Sidang dengar Keterangan Saksi
• Berawal dari Lomba, Ibu-ibu Bangetayu Wetan Semarang Jadi Punya Penghasilan Tambahan
Sebagai gambaran, dari tahun 1995 - Juli 2019 terdapat total 328 kasus tuduhan trade remedies oleh Negara anggota Wolrd Trade Organization (WTO), yang terdiri dari 231 tuduhan anti dumping, 24 kasus anti subsidi, dan 73 tuduhan safeguard.
Dari total tersebut, terdapat 27 kasus yang masih berjalan proses penyelidikannya, termasuk satu kasus sedang berlangsung di badan sengketa dagang WTO.
Adapun maksud dari trade remedies adalah instrumen yang digunakan secara sah untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara, dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat atau unfair trade.
"Kolaborasi antara Pemerintah dengan dunia usaha terbukti memberikan hasil yang memuaskan.
Selama kurun waktu Januari-Desember 2018, sebanyak 18 kasus berhasil dimenangkan atau dihentikan oleh Indonesia dan diperkirakan telah menyelamatkan nilai ekspor Rp 16,5 triliun.
Sementara sampai bulan Juli 2019 telah memenangkan lima kasus dengan nilai ekspor Rp 6,82 triliun," ungkapnya.
Sementara itu, hitungan rata-rata dari tahun 2014-2018 pertumbuhan ekspor di Jateng sekitar 8% ditunjang oleh tekstil dan kayu.
"Tahun depan kami berencana akan ada FTA Office oleh Kementerian, sehingga kami bisa memberikan informasi tentang dinamika ekspor termasuk kaitannya dengan trade remedies.
Nanti kita bisa saling terhubung dengan direktorat terkait kalau ada kendala," ujarnya.
Direktur Pengamanan Perdagangan, Pradnyawati menjelaskan, perdagangan internasional Ekspor dan Impor semua mengarah pada komitmen WTO yaitu adanya Free Trade Area (FTA) dan fair (jujur).
Terkait tuduhan yang diterima Indonesia, anti damping dan anti subsidi untuk perdagangan yang menurut mereka tidak fair atau curang.
Karena pihaknya menjual harga produk untuk strategi meraih pangsa pasar disana dengan harga murah.
Jadi harga disini lebih tinggi, sedangkan harga ekspor lebih murah.
Kemudian anti subsidi, seperti kayu dalam hal ini untuk produksi kertas.
Karena pihaknya melarang ekspor bahan baku untuk diolah menjadi kertas.
Oleh karena itu, pihaknya dituduh memberikan subsidi kepada eksportir produsen kayu, dengan cara bahan baku disimpan untuk sendiri dan tidak dikeluarkan supaya harga lebih murah.
"Kami dikenakan tuduhan oleh Amerika dan Australia, bahkan yang Amerika kami gugat hasilnya ke WTO.
Kami berkeyakinan bahwa tidak mensubsidi produsen kertas kita, karena memang bahan bakunya sendiri di Indonesia tumbuh dengan mudah bisa lima tahun sekali.
Sementara di Negara sub-tropis bisa puluhan tahun baru bisa dipanen," jelasnya.
Kebijakan Pemerintah yang dianggap mensubsidi produksi, sehingga menghasilkan harga yang murah secara tidak wajar itu bisa diinvestigasi dengan tuduhan anti subsidi.
Sedangkan tuduhan safeguard, bila lonjakan Impor dirasa sangat tajam dan signifikan sehingga industri dalam negeri merasa terganggu, bisa melapor dan dilakukan investigasi.
Sebagai hasil Impor dari semua negara yang melebihi 3% untuk developing countries, bisa dikenakan biaya masuk tambahan atau biaya masuk safeguard.
"Untuk membuktikan bahwa yang dituduhkan tidak benar, kami membutuhkan kerja sama dengan perusahaan terkait karena yang dilihat adalah data perusahaan.
Kalau perusahaan kooperatif kita bisa menyelesaikan dengan kemenangan.
Tapi kalau perusahaannya tidak koorperatif, itu yang susah karena kami tidak bisa membela atau membantu," pungkasnya. (dta)