Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Jejak Panjang Anak Sekolah di Jalanan: Dari Bomber Jiwa hingga Aksi Demo Era Prabowo

Anak sekolah kerap dipandang sebagai kelompok usia yang seharusnya berfokus pada belajar.

Penulis: budi susanto | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG/Budi Susanto
BAWA BENDERA - Ilustrasi pelajar dan peserta aksi menyuarakan aspirasi. (Dok TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO) 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Anak sekolah kerap dipandang sebagai kelompok usia yang seharusnya berfokus pada belajar.

Namun, sejarah Indonesia mencatat sebaliknya, sejak era kemerdekaan hingga kini, pelajar SMP dan SMA tidak jarang ikut serta dalam aksi politik, bahkan perjuangan bersenjata. 

Fenomena ini memunculkan kontroversi, apakah mereka benar-benar sadar berjuang, atau justru dimanfaatkan pihak tertentu?

Pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945–1949), pelajar tidak hanya berdemonstrasi, tetapi ikut berperang. Di Semarang, sekelompok pelajar STM membentuk satuan khusus bernama “Bomber Jiwa”. 

Anggotanya sekitar 40–50 remaja, dilatih membuat bom sederhana dari bahan peledak rampasan Jepang.

Mereka melakukan sabotase di titik vital seperti Jembatan Kaligarang dan jalur menuju Gombel Semarang, yang digunakan Belanda untuk mengangkut tank. Ledakan yang mereka tanam membuat pergerakan pasukan Belanda terganggu.

Dikutip Tribun Jateng, Jumat (5/9/2025), Sejarawan Nugroho Notosusanto dalam bukunya Tentara Pelajar (1978) menyebut laskar pelajar semacam ini sebagai prajurit sukarela yang rela mempertaruhkan nyawa meski masih belia.

“Mereka masih remaja, tetapi keberanian mereka luar biasa.

Bomber Jiwa adalah bukti bahwa pelajar ikut menentukan jalannya revolusi,” kenang Kolonel Nursahit, Purnawirawan TNI, saat ditemui Tribun Jateng di Semarang beberapa waktu lalu.

Setengah abad kemudian, pada masa kejatuhan Soeharto (1997–1998), pelajar kembali muncul di jalanan. Bedanya, kali ini mereka lebih banyak ikut arus massa mahasiswa. 

Pelajar SMA di Jakarta, Solo, Yogyakarta, hingga Medan turun ke jalan selepas sekolah. Dalam peristiwa Mei 1998, banyak pelajar terseret dalam kerusuhan, bahkan ada yang menjadi korban.

Laporan Komnas HAM (Menyibak Tirai Gelap Reformasi, 2002) menyebut adanya “massa muda berseragam sekolah” di antara demonstran.

Buku 12 Mei: Tragedi Trisakti dalam Foto (1999) juga mendokumentasikan remaja berseragam putih abu-abu di sekitar kampus. 

Mereka tidak terorganisir seperti mahasiswa, tetapi kehadirannya nyata, dan sebagian terjebak dalam pusaran kerusuhan.

Fenomena ini kembali mencuat di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Tahun 2025, beberapa aksi memperlihatkan pelajar ikut langsung menyuarakan protes. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved