Kiki Kaget Tertular HIV dari Suaminya, Benarkah Kelompok LSL Nikahi Wanita untuk Sembunyikan Status?
Itu adalah sepenggal cerita Kiki, seorang perempuan berusia 33 tahun yang telah 12 tahun hidup dengan human immunodeficiency virus (HIV).
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Itu adalah sepenggal cerita Kiki, seorang perempuan berusia 33 tahun yang telah 12 tahun hidup dengan human immunodeficiency virus (HIV).
Semua berawal ketika perempuan itu sedang mengandung buah cinta pernikahannya dengan seorang laki-laki.
Pada bulan pertama kehamilannya, HIV belum terdeteksi di tubuh Kiki. Ketika itu usianya masih 23 tahun.
• Sosok Yan Vellia Istri Cantik Didi Kempot, Usia Terpaut 15 Tahun, Pedangdut Kelahiran Semarang
• Viral, Curhatan Istri saat Suami Nikah Lagi: Ku Kira Kerja Gak Bisa Pulang, Ternyata Sama Istri Muda
• Ningsih Tinampi Jadi Viral, Korban Perselingkuhan Suami yang Kini Jadi Dukun
• Kronologi Pembacokan 3 Pemuda di Arteri Soekarno-Hatta Semarang, Berawal dari Nama Binatang
Saat usia kandungannya memasuki bulan keempat, Kiki kembali menjalani pemeriksaan HIV.
Hasilnya Kiki dinyatakan positif terinfeksi HIV oleh dokter. Ia kaget bukan kepalang.
Virus tersebut dia dapatkan dari suaminya.
Sebelum menikah dengan Kiki, pria yang kemudian menjadi mantan suami Kiki tersebut menggunakan narkotika jenis suntik.
Janin yang dikandung Kiki tidak terinfeksi HIV meski Kiki positif. Anak itu kini dapat tumbuh normal dan mendapatkan hak yang sepadan dengan anak lain.
"HIV itu memiliki masa yang disebut windows period, masa di mana HIV belum terdeteksi.
Kadang-kadang itu juga disebut HIV palsu karena belum pasti," ujar Kiki kepada Tribun Network ditemui di kantor Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Jakarta.
Kiki mengatakan windows period adalah proses HIV masuk ke tubuh manusia.
Pada tahap ini, sebelum mempengaruhi sel-sel di dalam tubuh, HIV masih berkamuflase dan bersembunyi di balik sel tubuh dalam sel darah putih.
"Itu sebabnya mengapa virus itu belum terdeteksi. Selain itu orang tersebut terkena HIV tanpa gejala.
Orang tidak akan pernah sadar kalau ternyata mereka punya HIV," kata Kiki yang terlibat di IPPI sebagai Office Manager.
Mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan soal total kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan, profesi ibu rumah tangga termasuk profesi yang rentan terinfeksi virus tersebut.
Sepanjang tahun 2019 angka kasusnya telah mencapai 439 kasus. Ibu rumah tangga adalah profesi paling rentan kedua setelah tenaga nonprofesional (karyawan).
Kasus HIV terlaporkan tahun 2019 di tenaga nonprofessional mencapai 1.000 kasus.
Sedangkan berdasarkan data jumlah kumulatif kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan pada rentang 1987 hingga 2019, profesi ibu rumah tangga tergolong sangat rentan.
Jumlah kasus HIV pada ibu rumah tangga selama 32 tahun terakhir mencapai 16.844 kasus.
Ibu rumah tangga adalah kelompok pekerjaan/status yang tertinggi ketiga setelah tidak diketahui (31.162 kasus) dan tenaga nonprofessional (17.867 kasus).
Kiki membenarkan data tersebut. Dia mengatakan meski mobilitas ibu rumah tangga tergolong kecil, ternyata profesi ini justru rentan terkena HIV.
Tanpa bermaksud membela kaum Hawa, Kiki menilai penyebab ibu rumah tangga rentan tertular HIV karena men mobile with money.
Apa yang dimaksud Kiki adalah tentang seorang suami yang bekerja di luar kota, pulang ke rumah seminggu atau sebulan sekali dan sang suami punya uang.
"Mereka bisa saja 'jajan' di luar, free sex di luar tanpa sepengetahuan sang istri. Itu termasuk penyebabnya," ujar Kiki.
"Seperti suami saya, mantan suami saya dulu, sejak sebelum menikah, saya tahu dia memakai narkotika suntik dan begitu saya hamil empat bulan, kami dinyatakan HIV," sambung Kiki.
Faktor lain yang membuat ibu rumah tangga rentan tertular HIV adalah kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL).
Kelompok yang tidak semua anggotanya adalah homoseksual itu cenderung menutup diri soal orientasi seksualnya.
"Akhirnya banyak LSL yang menikahi perempuan untuk menyembunyikan status mereka sebagai LSL.
Sayangnya, banyak sekali teman-teman LSL yang tidak mau membuka status," kata Kiki.
Itu menjadi penyebab begitu banyak ibu rumah tangga yang terkena HIV.
Semua ini terjadi karena kelompok LSL menikah dan belum membuka status mereka ke istri.
"Sayangnya lagi teman-teman LSL ini belum buka status ke istri atau pasangan ternyata dia itu HIV positif atau mereka sendiri juga belum tahu kalau mereka HIV positif," ujar Kiki.
Untuk menanggulangi penyebaran HIV pada ibu rumah tangga, Pusat Penelitian HIV/AIDS Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menjalankan program notifikasi pasangan.
Dalam program ini setiap ibu hamil menjalani pemeriksaan HIV. Jika ibu tersebut positif, maka dia harus mengajak pasangannya untuk ikut menjalani tes.
Namun demikian, hasil pemeriksaan HIV bisa memberatkan ibu rumah tangga. Jika terbukti positif, dia harus berbicara kepada suami mengenai statusnya.
Pembicaraan tersebut bisa berakibat merugikan bagi istri. Bisa jadi dia diceraikan, meski orang yang terkena HIV lebih dulu adalah suami.
"Jadi di panduan program itu ada bagaimana si perempuan membuka status HIV ke pasangannya. Kalau tidak dilaksanakan akan dimediasi.
Kami juga akan bantu memberikan konseling," ujar Advocacy Officer Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya Iman Abdurrakhman kepada Tribun.
Jangan Diskriminatif terhadap Perempuan
Tingginya jumlah ibu rumah tangga terinfeksi HIV di Indonesia disebabkan oleh mandatory testing yang diwajibkan Kementerian Kesehatan.
Program ini menjadi masalah karena diskriminatif terhadap perempuan.
Hal tersebut dikatakan oleh RAS alias Kiki, seorang Office Manager Ikatan Perempuan Positif Indonesia kepada Tribun Network di kantornya, Jakarta, Sabtu (30/11).
Kiki mengatakan program ini telah dijalankan sejak tahun 2016, namun cenderung diskriminatif.
"Akhirnya yang ketahuan HIV hanya istrinya, kemudian ketika suaminya diajak tes HIV, kira-kira mau tidak dia?
Mungkin ada beberapa yang mau terutama kalau memang benar dia sayang," ujar Kiki.
Menurut Kiki program ini merupakan satu penyebab diskriminasi terhadap perempuan hamil yang positif terinfeksi HIV.
Kiki mencontohkan kisah seorang anggota IPPI yang positif HIV, namun takut untuk berterus terang kepada suaminya.
Kata Kiki kecemasan rekannya tersebut ada lantaran stigma buruk yang melekat pada perempuan yang terinfeksi HIV.
Selain itu, yang menjadi kecemasan banyak ibu rumah tangga dengan HIV itu terutama ialah nasib sang anak kelak jika dicerai sang suami.
Posisi tawar perempuan yang rendah dalam lingkup sosial juga menjadi pertimbangan rekannya untuk terbuka kepada sang suami soal HIV.
"Ada anggota IPPI yang karena dia HIV positif tidak mau terbuka kepada suami karena takut diceraikan.
Kecemasan mereka itu beralasan karena takut kelak anaknya tidak ada yang menafkahi, sedangkan dia tidak punya pekerjaan dan segala macam," kata Kiki.
Kiki menambahkan pandangan sang mertua rekannya di IPPI juga menjadi kecemasan dan ketakutan untuk jujur soal terinfeksi HIV.
Menurutnya pandangan miring yang melekat pada perempuan dengan HIV di mata mertua menjadi momok yang menakutkan.
"Apalagi pandangan mertua. Mereka itu pandangannya miring sekali ketika tahu menantu perempuannya positif HIV.
Mereka langsung beranggapan perempuan yang kena HIV itu pasti perempuan yang bukan baik-baik, padahal asalnya siapa tahu dari si suami," ujarnya.
"Kalau suaminya benar-benar sayang, dia tidak akan meninggalkan, tapi kalau si perempuan ini HIV positif dan itu sumbernya dari si suami, masih banyak laki-laki di luar sana yang bisa menerima," tambah Kiki menceritakan proses pendampingan yang diberikannya pada rekan di IPPI.
Pemeriksaan HIV adalah cara yang penting dalam mencegah penularan HIV, cara perawatan dan memberikan layanan dukungan.
Pemeriksaan HIV penting untuk mencapai target 90-90-90 yang dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun demikian, WHO dan Program HIV/AIDS PBB (UNAIDS) menyatakan tidak mendukung pemeriksaan HIV individual diumumkan ke publik. Mereka berprinsip, apapun caranya, pemeriksaan HIV
harus menghargai pilihan pribadi dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika dan hak asasi manusia. WHO dan UNAIDS menegaskan pemeriksaan HIV harus sesuai dengan lima nilai.
Nilai-nilai tersebut adalah consent (persetujuan), confidentiality (kerahasiaan), counseling (konseling), correct status (status yang tepat) dan connections (koneksi). (Tribun Network/gen/amb)
• Ekspresi Pemutilasi di Banyumas yang Dituntut Hukuman Mati Berubah, Seorang Wanita Tertunduk Sedih
• Video Pohon di Ungaran Terbakar Sendiri
• Mulai 2020, Pegawai Non PNS dan Non PPPK di Kota Tegal Dapat JKK dan JKM
• Video Didi Kempot Live di Alun-alun Sasono Langen Putro Sragen