Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Virus Corona Jateng

Kala UMKM Banting Setir Buat Produk Terkait Penanganan Corona, Heno Kebanjiran Order Masker Batik

Sektor ekonomi terdampak pandemi Covid-19, baik mikro maupun makro. Tak hanya di Jateng tapi di Indonesia

Freepik
ilustrasi Masker dokter 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Sektor ekonomi terdampak pandemi Covid-19, baik mikro maupun makro. Tak hanya di Jateng tapi di Indonesia bahkan dunia mengalami hal serupa di waktu bersamaan yaitu terhitung sejak awal tahun 2020 ini.

Perusahaan yang mengandalkan bahan impor tentu mengalami dampak besar, apalagi mereka juga kesulitan ekspor karena di negara tujuan sedang lockdown.

Tak bisa masukkan bahan, kesulitan ekspor produk dan sekaligus pasar lokal tergerus karena adanya kebijakan kerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah.

Nyaris pasar sepi, jalanan sepi, pembeli juga sepi maka kondisi makin sulit. Hal itu juga menimpa pelaku usaha kecil atau UMKM. Banyak UMKM harus rela kehilangan permintaan pelanggan, pembatalan order dan sebagainya.

Namun ada beberapa pengusaha kecil atau UMKM yang sigap dan cerdas melihat kondisi pasar. Memahami apa saja produk yang sedang tinggi permintaan.

Sebut saja Marheno Jayanto bersama Zalzilah istrinya yang banting setir usahanya.

FOKUS : Pulang Malu, Tak Pulang Rindu

Hasil Penelitian Terbaru: Puasa Mampu Tingkatkan Imunitas untuk Lawan Covid-19

Marheno dan Zalzilah pengusaha batik pewarna alam yang berdomisili di Kampung Alam Malon, Gunungpati, Semarang. Selama ini dirinya banyak memproduksi kain batik dan ecoprint untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri.

Heno panggilannya, mengatakan sejak Indonesia dinyatakan pandemi Covid-19, hampir semua pesanan yang sudah ia terima dibatalkan oleh pemesan. Selain itu, banyak pula agenda pameran yang terpaksa dihentikan, karena untuk mutus mata rantai penyebaran virus corona itu. "Sejak pertengahan Maret sudah berhenti total. Maka dari itu semua karyawan juga sudah saya rumahkan. Ya tujuannya supaya virus ini tidak mudah menyebar kemana-mana," terangnya.
Heno kemudian berfikir keras bagaimana supaya usaha tetap jalan. Melihat banyaknya pemberitaan yang membahas tentang langkanya masker, Heno kemudian mendapatkan ide dari situ.

"Saya pelajari dulu bagaimana membuat pola dan masker yang direkomendasikan oleh WHO. Setelah dapat polanya dan bahan yang harus digunakan, saya coba jahit. Tentunya ada lapisan bahan dari batik warna alam," ujarnya.

Karena tidak memiliki kemampuan menjahit yang baik, Heno mengajak warga sekitar yang memiliki mesin jahit. Semua pesanan masker ia serahkan kepada warga dan Heno hanya menyuplai bahan bakunya saja. "Pelan tapi pasti, ternyata pesanan kian membludak.

Pesanan datang dari komunitas dan perusahaan. Paling besar pesanan dari Indonesia Power UP Semarang. Bahkan membuat kami kewalahan karena saking banyaknya pesanan. Karena ini benar-benar dari nol lagi," kata Heno.

Warga yang diajak untuk memproduksi masker batik pewarna alam juga rata-rata merupakan buruh garment yang dirumahkan karena efek pandemi corona. Maka apa yang dilakukan Heno juga sekaligus untuk membantu mereka mendapatkan pemasukan tambahan.

"Kami saling bekerjasama. Saya pun juga mendapatkan dampaknya apalagi mereka buruh garment yang dirumahkan. Maka tidak ada salahnya jika memang memiliki kemampuan menjahit, akan kami ajak untuk memproduksi masker ini," tegas dia.

Apabila pandemi ini telah usai, Heno menegaskan akan melanjutkan produksi batik pewarna alam dan ecoprint yang sudah dia tekuni selama bertahun-tahun. Ia pun berharap kondisi ekonomi yang sedang lesu bisa segera kembali pulih.

"Kami berharap bisa segera pulih lagi. Kasihan semua pelaku UMKM sedang jatuh semua. Apalagi buruh yang terpaksa dirumahkan dan tidak mendapatkan jaminan dari perusahahaannya," harapnya.

Terpisah, Dewi Oktavia (25) melihat kebutuhan pasar akan hand sanitizer sangat tinggi, dia pun segera terjun bikin produk itu.

Dewi membuat hand sanitizer sendiri menggunakan bahan-bahan yang sesuai standart WHO. Ia pun kemudian memesan bahan untuk membuat hand sanitizer secara daring.

"Jujur karena saking banyaknya orang buat hand sanitizer, bahan bakunya pun juga susah. Termasuk botol kemasannya. Kalau ada kadang harus menunggu agak lama," tuturnya.

Wanita yang juga apoteker ini sudah tidak perlu lagi membaca resep membuat hand sanitizer sendiri. Karena semua sudah ia pelajari saat masih duduk di bangku perkuliahan. Maka tak heran banyak masyarakat yang percaya dengan kualitas produk hand sanitizer yang dibuat Dewi.

"Alhamdulillah banyak yang pesan ke saya. Mungkin karena saya apoteker jadi tahu bagaimana membuat hand sanitizer yang sesuai standar WHO.

Pesanan selain dari masyarakat sekitar, dari perkantoran juga ada. Bahkan sampai luar kota. Saya jualnya per 100 ml," imbuh Dewi.

Satu kemasan isi 100 ml, Dewi hanya menjualnya seharga Rp 30 ribu. Karena ia tak ingin masyarakat jadi terbebani dengan harga hand sanitizer yang sangat mahal. Ia tak ada niatan untuk menjadikan ini sebagai usaha tetap.

"Tapi lihat saja nanti permintaan pasar bagaimana. Kalau setelah pandemi corona masih banyak, mungkin bisa juga dijadikan usaha tetap," pungkas warga Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes ini.

Harus Sesuai Standar WHO

Sekretaris organisasi Rumah UMKM Jawa tengah, Lenny Ratih Augustin, menceritakan banyak UMKM yang akhirnya beralih membuat produk yang diminati pasar. Misalnya, hand sanitizer, masker, alat pelindung diri, dan obat-obatan herbal.

Pihaknya sejauh ini mendukung apa yang sudah dilakukan anggotanya, karena melihat dari kondisi dunia usaha kecil yang kian terpuruk.

"Kami mendukung apa yang sudah dilakukan anggota. Namun perlu diingat jangan menjual dengan harga yang tidak wajar. Selain untuk menambah pemasukan, apa yang sudah dilakukan juga harus didasari pada rasa kemanusiaan untuk saling membantu," kata Lenny Ratih.

Produk-produk yang dihasilkan juga harus bisa sesuai dengan standar organisasi kesehatan dunia atau WHO. Sehingga, masker, hand sanitizer, maupun APD bisa digunakan secara maksimal tanpa mengurangi manfaatnya.

"Harus diperhatikan bahan bakunya, proses pembuatannya harus bagaimana. Jangan sampai merugikan pemakainya," imbuh dia.

Namun untuk pelaku UMKM yang masih tetap bertahan dengan produksinya, Lenny menyarankan beberapa hal supaya tidak gulung tikar hanya gara-gara pandemi corona. Di antaranya memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk mereka.

"Berikutnya perhatikan cashflow supaya tetap terjaga dengan sehat dan baik. Ketiga, rencanakan ulang pendapatan dan pangkas anggaran biaya yang tidak perlu.

Melihat kembali rencana anggaran biaya menjadi hal yang krusial. Pelaku usaha harus dapat memilah pos anggaran mana yang menjadi skala prioritas dan melakukan penyesuaian budget dengan kondisi saat ini," pungkasnya. (tim)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved