Berita Internasional
Intelijen AS Sebut Kim Jong Un Kritis Setelah Operasi Kardiovaskular, Merokok dan Kerja Berlebihan
Amerika Serikat (AS) menyatakan memantau laporan intelijen yang menyebut kondisi Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, kritis setelah operasi kardiovasku
TRIBUNJATENG.COM, WASHINGTON DC - Kondisi Presiden Korea Utara, Kim Jong Un dikabarkan kritis setelah menjalani operasi.
Amerika Serikat (AS) menyatakan memantau laporan intelijen yang menyebut kondisi Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, kritis setelah operasi kardiovaskular.
Kim menuai perhatian setelah absen dalam perayaan ulang tahun mendiang kakeknya sekaligus pendiri Korut, Kim Il Sung, pada 15 April.
• Ganjar Sebut Sudah 600 Ribu Warga Jateng Mudik dari Jabodetabek
• Ganjar Terima Usulan Wali Kota Semarang Soal PSBB: Jika Diterapkan Demak dan Kendal Menyesuaikan
• Ini Strategi Luhut Pandjaitan Demi Suksesnya Pelarangan Mudik Lebaran Idul Fitri 1441 H
• Kim Jong Un Dikabarkan Kritis Seusai Operasi, Jika Meninggal, Ini Prediksi Sosok Penggantinya
Ketidakhadiran Kim Jong Un memunculkan pertanyaan mengenai kondisi kesehatannya, di mana kali terakhir dia terlihat adalah saat pertemuan para pejabat negara.
Kepada CNN Monday (20/4/2020), sumber internal AS menuturkan kondisi kesehatan Kim kredibel.
Tetapi sejauh apa parahnya tidak diketahui.
Daily NK, harian berbasis di Korea Selatan yang fokus kepada Korea Utara melaporkan, Kim menjalani prosedur operasi kardiovaskular pada 12 April.
Berdasarkan pemberitaan harian itu, Kim harus menjalani prosedur tersebut karena "obesitas, merokok, dan bekerja secara berlebihan".
Sang pemimpin tertinggi saat ini dilaporkan menjalani perawatan di sebuah vila yang berlokasi di kawasan Hyangsan County.
Setelah dinyatakan kritis, kondisi Kim disebut mulai membaik dengan sebagian dokter yang merawatnya pulang ke Pyongyang pada 19 April.
Hanya sebagian kecil tim medis yang masih ditempatkan di Hyangsan untuk memantau perkembangan kesehatan pemimpin yang berkuasa sejak 2011 itu.
Saat dikonfirmasi, baik Dewan Keamanan Nasional maupun Kantor Direktur Intelijen Nasional menolak untuk memberikan tanggapan.
Begitu juga dengan Badan intelijen Pusat (CIA), Kementerian Luar Negeri AS, maupun perwakilan dari pemerintah Korea Selatan.
Mengumpulkan informasi telik sandi dari negara komunis itu terbilang sulit, dan menjadi tantangan bagi Negeri "Uncle Sam".
Pyongyang secara ketat membatasi aliran informasi di lingkaran sang pemimpin, yang dianggap sebagai dewa di Korea Utara.