Promoter Polda Jateng
Ada Kampung Religi di Genuk Semarang, Tempat Para Pemabuk dan Penjudi Perbaiki Iman
Puluhan spanduk bertuliskan Kecamatan Genuk Kecamatan Religi, Genuk Darutat Togel dan sejenisnya terpasang di berbagai wilayah Kecamatan Genuk terutam
Penulis: iwan Arifianto | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Puluhan spanduk bertuliskan Kecamatan Genuk Kecamatan Religi, Genuk Darutat Togel dan sejenisnya terpasang di berbagai wilayah Kecamatan Genuk terutama di jalan Woltermonginsindi.
Ternyata slogan yang terpampang di spanduk tersebut bukan isapan jempol belaka.
Pasalnya Kapolsek Genuk Kompol Subroto bersama para tokoh agama dan tokoh masyarakat Kecamatan Genuk tengah mempersiapkan pembentukan kampung religi.
• M Nuh Pemenang Lelang Motor Listrik Jokowi Rp 2,550 M Tidak Ditangkap, Ternyata Bukan Pengusaha
• 2,5 Jam Mencari Rumah Bu Imas, Anggota DPR Ini Tak Kuasa Menahan Sedih saat Sampai, Ini Janjinya
• Tragis! Polwan Asik Selingkuh dengan Atasannya, Tak Sadar Anaknya Tewas Dalam Mobil Patroli
• Tetap Memeluknya saat Meregang Nyawa, Terungkap untuk Siapa Seikat Bunga yang Dibawa Okta
Kampung tersebut berlokasi di Kelurahan Penggaron Lor Kecamatan Genuk.
"Kami resmikan habis lebaran ini, nanti di bulan Juni," terang Kapolsek kepada Tribunjateng.com, Jumat (22/5/2020).
Kampung religi menjadi tempat para warga yang masih gemar melakukan kegiatan penyakit masyarakat (pekat) berupa judi, miras maupun kenakalan remaja seperti balap liar, tawuran, dan lainnya.
"Kalau masih ada warga yang bandel jadi bandar judi, main judi, jual miras maupun mabuk-mabukan serta kenakalan remaja.
Mereka bisa kami masukan ke kampung religi untuk mendapatkan pendidikan agama," jelas Subroto.
Dijelaskannya, kampung religi hanya diperuntukan untuk mereka yang hanya melakukan tindakan kriminalitas berupa penyakit masyarakat.
Mereka juga nanti ditawarkan ingin memilih jalur hukum atau memperbaiki iman dengan mengikuti pendidikan agama di kampung religi.
Kalau memilih jalur hukum otomatis tidak diikutkan ke pendidikan kampung religi.
Sebaliknya ketika mereka memilih pendidikan di kampung religi.
Mereka akan dikarantina di kampung tersebut dengan berbagai aturan yang harus diikuti.
"Masuk ke kampung religi ada aturannya seperti mengikuti kegiatan keagamaan sehari penuh bicara soal keimanan yang dipandu oleh para tokoh agama.
Tentu hal ini tidak mudah bagi mereka yang tidak biasa," ungkapnya.
Subroto menerangkan, ada mekanisme bagi para warga pelaku pekat yang mengikuti pendidikan keagamaan di kampung religi.
Para pelaku yang tertangkap pertama kali maka mengikuti pendidikan religi selama 1 x 24 jam.
Dua kali tertangkap wajib mengikuti pendidikan religi selama 3 hari. Untuk ketiga kalinya wajib mengikuti pendidikan religi selama 7 hari.
Berikutnya jika tertangkap untuk keempat kalinya, wajib mengikuti pendidikan religi selama 40 hari.
Kampung tersebut memang dibentuk bagi kaum muslim.
Di luar agama islam akan dititipkan di tempat ibadah sesuai agamanya dengan teknis dan mekanisme yang sama.
"Masih bandel dengan kegiatan penyakit masyarakat sampai terjaring lagi maka ketika kembali tertangkap maka sudah tidak ada toleransi artinya kami masukan ke ranah hukum," katanya.
Kapolsek menyebut, kehajatan yang dilakukan oleh warga di luar kejahatan penyakit masyarakat maka pihaknya akan menindak tegas dengan tetap memproses hukum.
Kampung religi hanya untuk warga yang melanggar norma masyarakat dan masih bisa diperbaiki lewat kampung religi.
"Perlu dicatat ini hanya untuk penyakit masyarakat saja yang sebenarnya bisa dicegah dengan penguatan iman di masyarakat itu sendiri," bebernya.
Menurut Subroto, program kampung religi didesain memiliki nuansa religi seperti menjelang Magrib sampai menjelang Isya hanya lantunan ayat suci Al Quran yang terdengar.
Menggencarkan salat lima waktu berjamaah dan perempuan di kampung tersebut ketika keluar rumah wajib mengenakan jilbab.
Dia menambahkan, tujuan utama dari kampung religi adalah penguatan iman.
Jadi ketika ada warga yang berjualan terkait dengan penyakit masyarakat namun iman warga sudah kuat maka tidak akan ada yang membeli.
Berbeda jika para penjual hanya ditangkap polisi lalu dihukum.
Setelah itu berjualan lagi.
Siklus tersebut akan terus terjadi. karena tidak ada penyelesaian soal iman.
"Kami sudah sepakat dengan tokoh para agama mengambil cara tersebut agar penyakit masyarakat hilang dan terjaganya suasana keamanan dan ketetertiban," paparnya. (iwn).
• Pekerja Migran yang Dikarantina di BPSDMD Srondol Semarang Tersisa 26 Orang
• Murahnya Nyawa di Mata 4 Remaja Ini, Bunuh Tukang Becak di Semarang Cuma Ingin Rampas Rp 7.500
• Penjual Kucing-kucingan dengan Polisi, Puluhan Botol Miras Ditemukan di Lokasi Tersembunyi
• Salat Ied Berjamaah di Karanganyar Tetap Dilaksanakan, Pemkab Sudah Siapkan Alun-alun