Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ngopi Pagi

FOKUS : New Normal, Mendesakkah?

Di saat pemerintah menggulirkan rencana penerapan new normal sebagai sebuah “jalan damai” menghadapi pandemi corona yang tak kunjung usai,

Penulis: rustam aji | Editor: Catur waskito Edy
tribunjateng/cetak/grafis bram kusuma
RUSTAM AJI wartawan Tribun Jateng 

Oleh Rustam Aji

Wartawan Tribun Jateng

Di saat pemerintah menggulirkan rencana penerapan new normal sebagai sebuah “jalan damai” menghadapi pandemi corona yang tak kunjung usai, Jepang sudah sejak Senin (25/5) lalu mencabut keadaan darurat di ibu kota dan empat prefektur.

Dengan hal tersebut, mereka mengklaim kemenangan melawan virus corona karena telah menjaga total infeksi relatif rendah, sekitar 16.600 kasus. Sehari setelah Jepang mengakhiri keadaan daruratnya, warga Tokyo turun ke jalan dengan rasa campur aduk antara merasa aman dan gelisah saat mereka bersiap untuk new normal.

Jepang bisa menjadi contoh bagaimana “berperang” melawan corona dengan kedisiplinan yang tinggi dalam mematuhi protokol kesehatan. Penerapan lokdown di negeri Matahari, itu menjadi tidak sia-sia karena antara pemerintah dan rakyatnya mampu bersinergi dalam mengatasi pandemic corona.

Keadaan darurat di Jepang berlangsung selama sekitar tujuh minggu. Setelah dicabut, orang-orang pun masih tetap disiplin memakai masker dan menjaga jarak sosial. Pada Senin (25/5) malam itu, Jembatan Pelangi yang membentang di utara Teluk Tokyo diterangi dengan tujuh warna untuk menandai akhir dari keadaan darurat.

Warga Jepang sangatlah layak menikmati “kemenangan” itu untuk kemudian menerapkan hidup new normal.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, sudahkah Indonesia layak menerapkan new normal? Untuk menjawabnya, tentu perlu dengan fakta dan realitas agar tidak disebut mengada-ada atau hoaks. Meski, sebenarnya untuk menjawab itu, tidaklah perlu dengan teori yang njlimet bin mumet.

Sejatinya, masyarakat Indonesia sudah mampu menjawabnya sendiri. Bila penerapan new normal patokannya pada angka reproduksi kasus, yaitu basic reproduction number (Ro) dan effective reproduction number (Re/Rt) di bawah satu, maka sudah jelas jawabannya, belum!

Ro adalah jumlah kasus baru yang tertular dari satu kasus infektif pada populasi sepenuhnya rentan. Sedangkan Re/Rt adalah jumlah kasus baru yang tertular dari satu kasus terinfeksi pada populasi yang memiliki kekebalan sebagian atau setelah adanya intervensi.

Dengan fakta kasus terinfeksi corona yang masih naik turun –dengan jumlah tidak sedikit-- maka seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian para pemimpin di negeri ini sudah membahas soal pemulihan ekonomi, pembukaan mal, tempat wisata, dan lain sebagainya. Ibaratnya, persoalan di hulu belum usai, sudah berpikir di hilirnya. Bila dipaksakan, maka rakyat bisa menjadi korban.

Kita tentu tidak perlu iri dengan Jepang yang telah mulai menerapkan new normal, karena itu adalah buah dari kedisiplinan dan kerja keras mereka. Sementara di negeri ini, protokol kesehatan masih kurang bisa dilakukan dengan sepenuh hati. Antara semangat memerangi corona dan kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dalam keseharian belum mampu berjalan selaras.

Ya, tentu saja tidak ada yang melarang untuk berpikir menerapkan new normal, namun di sisi lain kedisiplinan dalam menjalankan protokol kesehatan juga harus tetap dijaga. Sejatinya, yang mendesak untuk dilakukan itu bukanlah penerapan new normal, tetapi bagaimana mendisiplinkan kebijakan yang ada.

Misalnya, pemberlakuan PSBB yang jadi awal pilihan untuk mencegah penyebaran virus corona banyak tidak berhasil, patut untuk segera dievaluasi. Kenapa tidak berjalan efektif, justru kasus malah bertambah, adakah yang salah? Kalau pelaksanaan PSBB saja tidak pernah dievaluasi pelaksanaannya, ya jangan berpikir new normal dulu. Sebab, hal ini seolah menjadi kebijakan yang coba-coba, seperti halnya PSBB. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved