Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Wabah Virus Corona

Lampu Ultraviolet Bisa Bunuh Virus Flu, Apakah Berlaku untuk Covid-19? Ini Penjelasan WHO

Tahun 2018,Amerika Serikat mengembangkan lampu ultraviolet (UV) yang bisa mencegah penyebaran virus flu...apakah termasuk virus corona covid-19

Penulis: Puspita Dewi | Editor: abduh imanulhaq
Instagram/Julesaart : #ultravioletlamp
Lampu Ultraviolet Bisa Bunuh Virus Flu, Apakah Berlaku untuk Covid-19? Ini Penjelasan WHO 

Lampu Ultraviolet Bisa Bunuh Virus Flu, Apakah Berlaku untuk Covid-19? Ini Penjelasan WHO

TRIBUNJATENG.COM-Dari berbagai pertanyaan yang terangkum dalam laman www.covid-19.go.id, banyak masyarakat yang menanyakan soal kemampuan lampu ultraviolet membunuh Vius Corona jenis covid-19.

Seperti yang diketahui, pada tahun 2018, peneliti dari Columbia University Medical Center, Amerika Serikat mengembangkan lampu ultraviolet (UV) yang bisa mencegah penyebaran virus flu di tempat umum.

Menurut penelitian yang dipublikasikan di Scientific Reports tersebut, sinar ultraviolet dapat membunuh virus flu di udara tanpa menyakiti manusia.

"Kita telah lama tahu bahwa sinar UV sangat efisien dalam membunuh mikroba, bakteri, dan virus," ungkap David Brenner, pemimpin penelitian ini dikutip dari Time, Jumat (09/02/2018).

Oleh karena itu, perangkat UV sering digunakan untuk sterilisasi. Misalnya saja peralatan medis di rumah sakit atau air minum saat berkemah di pedalaman.

Meski begitu, tim ini mengetahui bahwa lampu pembunuh kuman konvensional tidak aman bagi manusia di sekitarnya. Saat melakukan kontak terlalu lama dengan lampu kuman, manusia bisa terkena kanker kulit dan katarak.

"Jadi sampai sekarang, lampu pembunuh kuman ini hanya beroperasi saat tidak ada manusia di sekitarnya," ujar Brenner.

Namun apakah lampu ultraviolet ini bisa membunuh virus covid-19?

Dilansir dari laman www.covid-19.go.id, WHO tidak membantah juga tidak mengiyakan.

Organisasi Kesehatan Dunia itu tidak menyarankan penggunaan lampu UV.

" Lampu UV sebaiknya tidak digunakan untuk mensterilkan tangan atau area kulit lainnya karena radiasi UV dapat menyebabkan iritasi kulit," jelasnya.

Pertanyaan lain soal penularan Virus melalui hewan.

"Apakah manusia dapat terinfeksi COVID-19 dari hewan?" demikian adalah pertanyaan populer lainnya yang tribunjateng.com kutip di laman covid19.go.id.

WHO menjelaskan, Virus Corona adalah kelompok virus yang biasanya terdapat pada binatang.

"Terkadang, orang terinfeksi virus-virus ini, yang kemudian menyebar ke orang lain, seperti SARS-CoV dan MERS-CoV. SARS-CoV dikaitkan dengan musang, sedangkan MERS-CoV ditularkan oleh unta," jelas WHO.

Namun hingga saat ini, peneliti belum bisa memastikan apakah ada hewan yang bisa menularkan Virus Corona,  dan jenis hewan seperti apa.

"Hewan penular COVID-19 belum bisa dipastikan sampai saat ini. Untuk melindungi diri, misalnya saat mengunjungi pasar hewan hidup, hindari kontak langsung dengan hewan hidup dan permukaan yang bersentuhan dengan hewan.

Pastikan kebersihan makanan selalu dijaga. Berhati-hatilah ketika memegang daging, susu atau organ hewan mentah untuk menghindari kontaminasi dengan makanan mentah dan hindari konsumsi produk-produk hewan yang mentah atau tidak matang sempurna," jelas WHO.

pertanyaan populer berikutnya:

"Apakah mandi air panas bisa mencegah virus corona (COVID-19)?"

Sementara itu, menjawab pertanyaan populer tersebut, WHO mengatakan suhu normal manusia adalah 36,5° C hingga 37° C terlepas dari suhu air.

"Sebenarnya, mandi dengan air yang sangat panas bisa berbahaya, karena bisa membakar kulit.

Cara terbaik untuk melindungi diri dari COVID-19 adalah dengan sering mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir atau bila tidak tersedia, cairan permbersih berbahan alkohol (60%)", jelas WHO.

WHO mengatakan, dengan melakukan hal di atas, bisa menghilangkan Virus Corona yang mungkin ada di tangan dan menghindari infeksi yang dapat terjadi karena menyentuh mata, mulut, dan hidung.

Sedangkan mandi air panas tidak berpengaruh dengan pencegahan Covid-19.

"Mandi air panas tidak dapat mencegah Anda dari COVID-19," jelasnya.

Pertanyaan selanjutnya yang banyak ditanyakan adalah, sampai kapan social distancing dilakukan?

Perlu diketahui,  berbagai perusahaan dan negara kini tengah berlomba-lomba mengembangkan obat dan vaksin untuk virus corona. 

Puluhan vaksin potensial sedang dirancang di laboratorium di seluruh dunia. Vaksin-vaksin tersebut diharapkan dapat memulai proses uji coba selama beberapa bulan ke depan.

Sementara itu,  WHO mengingatkan butuh waktu lama untuk vaksin tersedia untuk keperluan publik. Para ilmuwan mengatakan uji klinis dan keamanan membutuhkan waktu sedikitnya 18 bulan.

“Waktu pengembangan kandidat virus ini banyak dihabiskan untuk mempelajari bagaimana cara mengembangkan vaksin untuk virus corona yang lain,” tutur Richard Hatchett, CEO dari Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (Cepi) yang berbasis di Oslo, Norwegia.

Sementara itu, dilansir dari kompas.com,  tanpa vaksin dan obat,  sebuah studi dari Harvard University  mengabarkan social distancing diperlukan hingga tahun 2022.

Studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah mengatakan bahwa penerapan social distancing yang berselang-seling kemungkinan dibutuhkan sampai kira-kira tahun 2022 mendatang jika tidak ada vaksin atau obat farmasi yang mampu menyembuhkan virus corona.

Penelitian itu mengungkapkan bahwa total kejadian infeksi akibat Covid-19 selama lima tahun ke depan akan sangat bergantung pada sirkulasi teratur setelah gelombang pandemi di awal. 

Pada akhirnya, tergantung pada durasi kekebalan yang diberikan oleh infeksi Sars-Cov-2 itu.

Para peneliti mempelajari virus corona lain yang berkaitan dengan virus corona jenis baru (saat ini) yang menyebabkan Covid-19 mensimulasikan sejumlah hasil potensial untuk pandemi saat ini.

Mereka berpendapat menerapkan langkah-langkah jarak sosial yang dilakukan hanya satu kali dapat mengakibatkan "epidemi puncak tunggal berkepanjangan" yang melelahkan sistem perawatan kesehatan.

"Jarak yang terputus-putus (berselang-seling) mungkin diperlukan hingga tahun 2022 kecuali jika kapasitas perawatan kritis meningkat secara substansial atau pengobatan atau vaksin (telah) tersedia," begitu ungkap para peneliti dalam studi tersebut.

Menurut penelitian dari studi tersebut, simulasi transmisi (penularan) ditemukan pada:

Semua skenario model, SARS-CoV-2 mampu menghasilkan wabah besar terlepas dari waktu pembentukan.

Sama seperti pandemi influenza, banyak skenario menyebabkan SARS-CoV-2 memasuki sirkulasi jangka panjang bersama dengan virus beta corona manusia lainnya.

Variasi penularan musiman yang tinggi dapat menyebabkan insidensi (angka kasus) puncak yang lebih kecil selama gelombang pandemi awal, namun wabah musim dingin dapat menyebabkan pengulangan insidensi yang lebih besar. 

Kekebalan jangka panjang secara konsisten menyebabkan eliminasi efektif SARS-CoV-2 dan insiden infeksi keseluruhan yang lebih rendah.

Tingkat kekebalan silang yang rendah dari virus beta corona lain terhadap SARS-CoV-2 dapat membuat SARS-CoV-2 tampak mati, hanya untuk muncul kembali setelah beberapa tahun.

(*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved