Liputan Khusus
Jumlah Kasus Bunuh Diri Meningkat Selama Pandemi, Begini Saran Psikolog
Dekan Fakultas Psikologi USM, Dr. Rini Sugiarti, M.Si, Psikolog menyebutkan, penyebab utama orang bunuh diri muncul apabila sudah merasa sendiri
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Beberapa hari terakhir ini makin sering muncul berita tak menyenangkan, satu di antaranya orang bunuh diri. Entah ada hubungan langsung atau tidak, sejak pandemi covid-19 ini terjadi, jumlah kasus bunuh diri mengalami peningkatan.
Internasional Association for Suicide Prevention (IASP) menyebut pandemi Covid-19 pemicu meningkatnya jumlah pasien kesehatan mental yang hendak bunuh diri. Jumlah angka kematian akibat bunuh diri di dunia tercatat terjadi setiap 40 detik.
Dalam pernyataan yang tercantum di laman resmi, Presiden IASP, Murad Khan, mengatakan dibutuhkan kolaborasi dalam berbagai pihak untuk menekan jumlah kematian akibat bunuh diri. Termasuk pemerintahan, pemangku kepentingan, badan pembiayaan, organisasi non-pemerintah, dan pihak lainnya.
"Mulai dari meningkatkan kesadaran dan mengadvokasi kesehatan mental serta pencegahan bunuh diri untuk dapat dimasukkan ke dalam program jaminan kesehatan, hingga melobi pemerintahan untuk mengambil langkah pencegahan bunuh diri dan mengembangkan strategi skala nasional," jelasnya.
Murad Khan mengajak masyarakat untuk saling memperhatikan komunitas masing-masing. Di tengah situasi dunia yang berubah akibat pandemi Covid-19, dan meningkatnya stres dan kecemasan masyarakat di bawah isolasi, ia menyebut hubungan antarmanusia menjadi sangat penting.
Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional itu menyoroti pentingnya komunikasi dan kerja sama untuk meningkatkan kesadaran dan advokasi atas kesehatan mental. Hal tersebut digaungkan pada peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang jatuh pada 10 September dengan tema "Working Together to Prevent Suicide".
"Jangan ragu untuk berbicara dengan orang-orang di komunitas, baik itu teman, anggota keluarga, kolega, atau bahkan orang yang tak dikenal. Berkomunikasi dan menjangkau orang lain dapat mengubah jalan hidup seseorang," ujarnya.
IASP ini sendiri didirikan untuk menumbuhkan perhatian terhadap kasus bunuh diri. Data IASP menyebut satu kematian akibat bunuh diri terjadi setiap 40 detik di dunia. Pencegahan bunuh diri masih menjadi tantangan global yang membutuhkan upaya bersama.
Kemenkes RI menyebut (data 2019) kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 0,71 persen di setiap 100 ribu penduduk, yang berarti 1,800 jiwa per tahun. Disebutkan pula bahwa kematian akibat bunuh diri banyak terjadi pada usia muda dan produktif, yakni 46 persen pada usia 25-49 tahun dan 75 persen pada usia 15-64 tahun.
Terpisah, Dekan Fakultas Psikologi USM, Dr. Rini Sugiarti, M.Si, Psikolog menyebutkan, penyebab utama orang bunuh diri muncul apabila sudah merasa sendiri dan tidak punya jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Ini terjadi jika fungsi kognitif sudah tidak berfungsi dengan baik, sudah tidak memiliki daya pikir positif dan mengarah ke frustrasi.
"Upaya pencegahan secara internal meningkatkan daya juang, dan potensi optimis, memandang masalah sebagai suatu ujian yang harus dilalui, serta meningkatkan nilai spiritualitas," ujarnya. Secara eksternal, lingkungan harus mampu memupuk kepercayaan diri, menghargai, support positif sebagai relasi yang dapat membantu mencarikan solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Data di Indonesia, laki-laki tiga kali lebih cenderung meninggal karena bunuh diri dibandingkan dengan perempuan. Cara bunuh diri di Indonesia yang paling banyak dilakukan yakni dengan gantung diri sebesar 60,9 persen, minum racun pestisida dan bahan kimia 18,8 persen, dan minum racun obat-obatan sebesar 8,7 persen. Sisanya lain-lain sebanyak 11,6 persen.
Penyakit atau kondisi penyerta yang mengakibatkan seseorang melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri ada berbagai macam. Namun, justru 71 persen pelaku bunuh diri dengan gantung diri tidak memiliki penyakit atau kondisi penyerta. 23,2 persennya karena mengidap gangguan jiwa, dan sisanya 5,8 persen akibat penyakit kronis.
Survei kesehatan yang pernah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2015 di 75 sekolah yang berada di 68 kabupaten/kota dan 26 provinsi, didapatkan keinginan untuk bunuh diri pada masa SLTP dan SLTA sebesar 4,3 persen pada laki-laki dan 5,9 persen pada perempuan. Namun justru yang paling berhasil melakukan bunuh diri cenderung laki-laki.
Hal itu sama persis seperti yang diungkapkan oleh Psikiater RSJD Amino Gondohutomo, Hesti Anggraini. Dirinya pun mengaku pernah menangani seorang pasien laki-laki yang berhasil meyakinkannya untuk tidak melakukan bunuh diri.