Berita Regional
Tak Mampu Sewa Ambulans Rp 800 Ribu Jenazah Suami Diangkut dengan Pikap
Peristiwa itu terjadi di Buleleng, Bali. Jenazah merupakan bagian dari keluarga kurang mampu asal Banjar Dinas Pasek, Desa/Kecamatan Kubutambahan, Bul
"Yang ngurus jenazah suami saya di rumah sakit hanya mertua. Mereka tidak tahu mau minta bantuan ke siapa. Disamping itu biaya sewa mobil ambulans di RSUD cukup mahal, yaitu Rp 800 ribu. Kami tidak punya uang sebanyak itu,” tutur Suryani saat ditemui di rumah duka, Minggu (24/1).
Akhirnya ada komunitas yang mau membantu mereka, meminjamkan mobil pikapnya untuk mengantar jenazah sang suami ke rumah duka. “Dengan adanya bantuan itu kami sudah sangat bersyukur, jenazah suami saya bisa cepat dibawa pulang ke rumah duka," terangnya.
Selain tak punya biaya untuk menyewa ambulans hingga terpaksa memulangkan jenazah dengan mobil pikap, keluarga almarhum Gede Seni juga tidak mampu membayar biaya perawatan di dua rumah sakit, yang totalnya kurang lebih mencapai Rp 17 juta.
Berhenti merokok
Menurut Suryani, suaminya mulanya dilarikan ke salah satu rumah sakit swasta yang ada di Buleleng pada Minggu (10/1) dengan keluhan batuk dan lemas. Setibanya di rumah sakit swasta tersebut, Gede Seni didiagnosis mengalami infeksi paru-paru.
Mengingat kondisinya kian melemah, pada Kamis (14/1) Gede Sani dirujuk ke RSUD Buleleng untuk mendapatkan penanganan yang lebih intensif.
"Sakitnya ini dialami sejak almarhum berhenti merokok, sekitar tujuh bulan yang lalu. Dia berhenti merokok karena baru punya anak. Takut anaknya kena asap rokok. Tapi setelah berhenti merokok itu, dia tiba-tiba sering batuk,” katanya.
Saat menderita batuk-batuk, almarhum tak pernah berobat ke rumah sakit karena keterbatasan dana.
“Saya terlambat memeriksakan dia ke rumah sakit, karena tidak punya uang dan jaminan kesehatan," ungkap Suryani sembari menangis.
Selama dirawat di rumah sakit, Gede Seni hanya ditemani oleh orangtuanya, yakni Cening Kawit (55) dan Nyoman Artawan (60). Sementara Suryani harus mengurus anak pertamanya yang masih berusia tujuh bulan di rumah.
Tiga hari sebelum meninggal, Suryani mengaku sempat menjenguk suaminya di ruang ICU. Kala itu sang suami sempat minta untuk dibawakan ponselnya agar bisa melihat foto-foto anak semata wayangnya.
"Dia minta dibawakan HP, katanya biar bisa liat foto anaknya. Dia sayang sekali dengan anaknya. Tangan saya juga dicium-cium, katanya jangan khawatir dia pasti sembuh. Tapi kondisinya sudah semakin drop, firasat saya sudah buruk. Sampai akhirnya dia meninggal, saya tidak sempat melihat dia lagi," tutur Suryani sembari mengusap air matanya.
Dirumahkan
Suryani menjelaskan, suaminya sebelumnya bekerja di salah satu restoran yang ada di kawasan Kuta. Sementara Suryani bekerja sebagai tenaga terapis di Denpasar.
Namun karena pandemi Covid-19, keduanya terpaksa dirumahkan. Praktis pasutri malang tersebut kehilangan mata pencaharian.