Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

OPINI Aji Sofanudin : Urgensi Riset Agama

GAGASAN presiden Jokowi untuk mengonsolidasikan seluruh SDM peneliti sangat bagus. Gagasan ini, kemudian didukung oleh DPR dengan munculnya UU Nomor 1

tribunjateng/bram
Opini ditulis oleh Dr Aji Sofanudin, M.Si/Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang 

Oleh DR. Aji Sofanudin, M.Si

Pengurus Asosiasi Peneliti Agama Indonesia

GAGASAN presiden Jokowi untuk mengonsolidasikan seluruh SDM peneliti sangat bagus. Gagasan ini, kemudian didukung oleh DPR dengan munculnya UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Secara lebih operasional, muncul Perpres Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai tindak lanjut dari Perpres Nomor 74 Tahun 2019.

Dalam Perpres Nomor 33 Tahun 2021, selain mengatur BRIN sebagai lembaga yang menjalankan Litbangjirap serta invensi dan inovasi, pemerintah dearah (provinsi dan kab/kota) dapat membentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida). BRIN merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Sementara BRIDA dibentuk oleh kepala daerah (Gubernur/ Bupati/Walikota) sesuai kebutuhan daerah masing-masing.

Sayang, regulasi tersebut alpa mengatur riset bidang agama. Ketentuan dalam Pasal 9 Perpres Nomor 33 Tahun 2021, tidak menyebutkan adanya kedeputian yang membidangi masalah agama dan keagamaan. Ibarat rumah, tidak tersedia kamar bagi peneliti bidang agama dan keagamaan dalam rumah baru BRIN.

Membuang Riset Agama

Mafhum bahwa agama merupakan bidang yang tidak didesentralisasikan. Kebijakan pembangunan bidang agama bersifat sentralistik. Selaras dengan itu, SDM peneliti kementerian agama seyogyanya mendukung penyelenggaraan ilmu pengetahuan sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional bidang agama. Keberadaan SDM peneliti agama berbeda dengan SDM peneliti lainnya yang bisa mendukung kebijakan pemerintah daerah. Kementerian Agama bersifat sentralistik.

Terbitnya Perpres 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menguatkan narasi adanya deprivatisasi agama. Agama menjadi persoalan privat, tak terkecuali persoalan riset bidang agama. Pemerintah cq BRIN tidak secara eksplisit menyebutkan adanya kedeputian yang mengurusi riset agama.

Riset bidang Agama dan Keagamaan bukan menjadi bagian dari Prioritas Riset Nasional (PRN). Ada kesan, pemerintah sengaja membuang riset bidang agama.

Membuang riset agama merupakan upaya menjauhkan/menghilangkan agama dari sektor publik. Hal ini mirip ketika frasa agama hilang dalam rumusan visi Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035.

Gejala yang sama dapat dicermati dari polemik draft RUU HIP yang hendak menafsir Pancasila dengan semangat trisila dan ekasila. Fenomena serupa, yakni hilangnya tokoh sekaliber KH Hasyim Asy’ari dalam kamus sejarah Indonesia. Semua memiliki kesamaan: seolah sengaja menjauhkan/menghilangkan agama.

Sumber Nilai

Padahal, agama sumber nilai yang sangat penting bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Berbicara Indonesia, berarti kita sedang membicarakan agama (baca Islam). Islam yang dibangun adalah Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam yang selaras dengan Pancasila sebagai falsafah negara. Islam yang hadir sebagai ruh dalam denyut kehidupan bangsa Indonesia.

Penelitian agama, selain memiliki nilai historis juga telah menunjukkan manfaat nyata untuk bangsa. Stabilitas nasional bisa tercapai manakala kerukunan umat beragama tercapai. Selain memang, riset agama memberikan sumbangsih nyata terhadap berbagai kebijakan negara, tak terkecuali mendorong mewujudkan Indonesia yang maju.

Sebenarnya ada “jalan keluar” dalam Perpres Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN agar riset agama tidak hilang sama sekali. Meskipun, tidak masuk kedeputian tertentu, riset bidang agama dan keagamaan bisa masuk sebagai unsur pendukung menjadi “pusat” sebagaimana ketentuan pasal 41 dan 45. Persoalannya adalah apakah lembaga BRIN (sebagai representasi pemerintah) mau membuka “ruang” membentuk misalnya Pusat Penelitian Agama dan Keagamaan?

Secara teknis, cara mudah konsolidasi dengan transformasi secara kelembagaan. Secara mudah, berganti “logo” atau “papan nama” ke BRIN. Persoalannya adalah apakah Kementerian Agama “Ikhlas” melepaskan SDM, infrastruktur dan anggaran ke BRIN?

Pertanyaan serupa, apakah BRIN sebagai satu-satunya lembaga pemerintah yang membidangi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) serta Invensi dan Inovasi akan membuat kamar baru untuk peneliti agama? Secara teknis, Pasal 41 dan 45 Perpres Nomor 33 Tahun 2021 membuka ruang untuk itu. Jalan lain, tentu bisa dengan merevisi Perpres 33 Tahun 2021 dengan memasukkan agama dalam kedeputian tersendiri.

Dengan cara ini, kesan bahwa pemerintah sengaja membuang riset agama tidak benar. Wallahu’alam. (*)

Baca juga: Hotline Semarang : Benarkah Ada Vaksinasi untuk Driver Gojek di Sam Poo Kong

Baca juga: Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun! Mochtar Kusumaatmadja Diplomat Ulung Itu Telah Tiada

Baca juga: Kisah Sukses Karyawan SPBU Menjadi Fisikawan Ternama

Baca juga: BERITA LENGKAP : Penghapusan Bensin Premium Tahun 2022, Apa Dampak Positif dan Negatifnya?

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved