Berita Nasional
BERITA LENGKAP : Pasal Penghinaan Kepala Negara di RUU KUHP Masih Jadi Polemik
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) terbaru masih menjadi bahasan dalam rapat antara Komisi III DPR
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) terbaru masih menjadi bahasan dalam rapat antara Komisi III DPR dan Menkumham Yasonna Laoly.
Satu dari beberapa delik pasal yang menjadi perhatian adalah penghinaan presiden/wapres dan DPR dalam RUU KUHP. Pro dan kontra mencuat dalam bahasan tersebut, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Dalam draf itu disebutkan, penghinaan terhadap presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara, dan apabila penghinaan dilakukan melalui media sosial ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly menyebut, aturan yang mengatur tindak penghinaan terhadap presiden sudah lumrah dan telah diterapkan di beberapa negara, seperti Thailand dan Jepang.
Menurut dia, alasan dimasukkannya pasal penghinaan presiden di RUU KUHP adalah agar masyarakat tak menjadi liberal. "Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau membiarkan (penghinaan terhadap presiden-Red). Tadi dikatakan, kalau di Thailand malah lebih parah, jangan coba-coba menghina raja, itu urusannya berat. Bahkan di Jepang atau di beberapa negara, (pasal) itu hal yang lumrah. Nggak bisa kalau kebebasan sebebas-bebasnya, itu bukan kebebasan, itu anarki," ujarnya, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (9/6).
Yasonna menegaskan, pasal ini berbeda dengan yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK diketahui pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut dia, pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP merupakan delik aduan. Selain itu, pasal itu ditujukan bukan bagi mereka yang memberikan kritik, melainkan bagi mereka yang menyerang harkat dan martabat presiden.
Ia mencontohkan, tak masalah jika dirinya dikritik tak becus mengemban tugas sebagai Menkumham. Namun, ia tak akan diam jika diserang harkat dan martabatnya. "Kalau saya dikritik, Menkum HAM tak becus, lapas, imigrasi, that's fine with me. Tetapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram, wah itu di kampung saya enggak bisa itu. Anak PKI-lah, tunjukkan pada saya kalau saya anak PKI, kalau enggak bisa gua jorokin lu," ucapnya.
Dia menegaskan, pasal itu tak hanya ditujukan untuk melindungi harkat dan martabat presiden saat ini, tetapi juga presiden di masa yang akan datang. "Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam isu itu, dia tenang-tenang saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah dengan pasal itu," tuturnya.
"Tapi, apakah kita biarkan presiden yang akan datang digitukan? Harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang berkeadaban," tandasnya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP, Arsul Sani menyatakan, wajar apabila pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam RUU KUHP tetap dipertahankan. Hanya saja, ia meminta agar aturan tersebut dibuat sebagaimana mestinya dan tidak menabrak putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan presiden.
"Artinya wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan bench marking, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan penyerangan martabat Presiden dan Wakil Presiden dipertahankan. Tantangan kita adalah agar ini bagaimana tidak menabrak putusan MK," jelasnya.
Arsul mengungkapkan, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang berniat menerapkan hukum pidana terhadap penghina kepala negaranya. Ia menyebut negara-negara lain seperti Denmark, Belgia, hingga Jerman menerapkan pasal serupa.
Di Belgia, dia menambahkan, menghina kepala negara atau raja dapat diancam pidana sampai 3 tahun. Sementara di Jerman, penghinaan terhadap kepala negara dapat dihukum 3 bulan sampai 5 tahun.
"Gimana ini di negara lain dilihat? Dari bench marking yang saya lakukan, saya lihat begitu banyak negara-negara yang demokrasi seperti kita, bahkan praktisi demokrasi lebih lama dari kita itu juga tetap mempertahankan less majesty. Ketentuan-ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat pemegang kekuasan khususnya kepala negara," terangnya.